Setelah doa, tiba rekonsiliasi sosial. Umat bersalam-salaman, Â saling memaafkan kesalahan sepanjang tahun lalu. Â
Acara ditutup dengan ramah-tamah. Bersama menikmati sajian Tahun Baru.  Keluarlah kue-kuean seperti  lampet, sasagun, kembang goyang, kue semprit, kue bawang, dan kacang tojin.  Juga minuman kopi, teh, dan sirop markisa panas.
"Selamat tahun baru, Poltak." Â Suara ceria gadis kecil dari arah belakangnya mengagetkan Poltak. Â Saat itu muda-mudi sedang saling salam mengucap selamat Tahun Baru.
Poltak berbalik, "Ah, Rauli. Â Selamat tahun baru." Poltak menyambut uluran tangan Rauli. Bersalaman, hangat dengan senyum.
Rauli. Â Dia anak Siantar, pulang kampung bersama keluarganya ke Sorlatong. Kumpul bersama kakek-nenek dan keluarga besarnya untuk bertahun-baru. Suatu kelaziman dalam budaya Batak.
Beberapa jam yang lalu,"Poltak, lihat itu. Ada gadis cantik duduk di depan. Â Cantik macam gadis kalender di rumahku," bisik Binsar kepada Poltak, sesaat sebelum kebaktian Tahun Baru dimulai.
Maksud Binsar, cantik seperti gadis model kalender. Lelaki Panatapan tahu tampilan gadis cantik dari kalender.
"Betul itu, Poltak. Macam gadis kalender cantiknya. Â Tapi sombonglah dia itu," tambah Bistok, berbisik.
"Benar.  Si Tongam, ponakan porhangir itu, tak disangko sama dia,"  imbuh Binsar, menegaskan kesombongan Rauli. Tongam tak disangko, tak dianggap, olehnya.
"Ah, biarkan saja." Â Poltak menanggapi dingin. "Aku kan calon pastor. Untuk apa pula ikut mengejar-ngejar anak gadis macam itu," pikirnya.
"Ah, payahlah kau, Poltak," balas Binsar agak kesal.