Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #082] Pastor Kecil dari Panatapan

14 Desember 2021   17:53 Diperbarui: 15 Desember 2021   04:43 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Gosip Poltak dan Berta pacaran di bukit keramunting dengan cepat beredar ke seluruh murid kelas lima. 

Tak perlu ditanya lagi siapa biang gosipnya. Hanya Binsar dan Bistok yang tahu kejadian itu.

Poltak tiadalah malu lantaran gosip macam itu. Berta pun tidak. Memang begitulah mereka bersenang-senang. Saling menjodohkan satu sama lain. Ujung ulah semacam itu adalah riuh tawa bersama.

Ada yang lebih menggemparkan. 

Masih di bulan Desember 1972, selang seminggu setelah peristiwa bukit keramunting. 

Beredar satu kabar yang mengejutkan murid kelas lima. "Poltak telah ditahbiskan menjadi pastor kecil." Begitulah berita dari Binsar. Bistok mengiyakannya.

Kabar itu membuat seisi kelas takjub melihat Poltak. Kecuali satu orang. Berta.  

"Dia bukan calon pastor lagi. Sudah jadi pastor," keluhnya sendu. Agaknya, sebuah harapan baru saja putus.

Tapi Binsar dan Bistok telah melebih-lebihkan cerita.

Kabar itu dijumput dari Misa Penerimaan Komuni Pertama anak-anak Sekolah Minggu Gereja Katolik Aeknatio.  Poltak, Binsar, dan Bistok termasuk di antara anak-anak yang ikut menerima Komuni pertama. 

Misa Komuni Pertama diadakan pada hari Minggu pagi.  Sore hari sebelumnya, Sabtu, Pastor Silverius sudah datang memberikan bimbingan.  Pastor Silverius adalah Pastor Kepala Paroki Parapat waktu itu.

"Dalam Misa atau Ekaristi, Yesus Kristus hadir di rupa roti dan anggur," kata Pastor Silverius. 

Lanjutnya,  "Roti atau Hosti adalah Tubuh Kristus. Anggur adalah Darah Kristus.  Itu sudah dikatakan dalam Injil.  Dalam kisah apa? Siapa yang tahu?"

"Kisah Perjamuan Terakhir, Pastornami," jawab Poltak tangkas. 

Dia tahu itu dari pengajaran Ama Rumiris, Porhangir Gereja Katolik Aeknatio, merangkap guru Sekolah Minggu.

"Tepat sekali. Pintar kamu, siapa tadi namamu, oh ya, Poltak."  

Hidung Poltak agak mekar mendapat pujian dari Pastor Silverius.

Tapi ada pertanyaan lanjutan. "Nah, Poltak, mengapa kita umat Katolik harus menerima hosti dan anggur?"

"Kata Amang Porhangir, Pastornami, untuk mengenang Kristus Sang Penebus.  Kristus yang  mengurbankan tubuh dan darahnya di kayu salib."

Poltak menjawab sambil melirik ke arah Amang Porhangir.  Minta dukungan, seandainya salah jawab.

"Betul sekali.  Terimakasih, Amang Porhangir sudah mengajar anak-anak dengan benar."  

Giliran hidung Ama Rumiris yang mekar.

"Karena itu, saat menyambut Kosti Kudus, kita harus bersikap hormat dan khidmad. Sebab kita sedang menyambut Kristus yang datang ke dalam diri kita." Pastor Silverius menjelaskan lebih lanjut.  

Setelah segala penjelasan itu, menyusul latihan menyambut Hosti Kudus.  

Anak-anak berbaris  ke depan altar dengan tertib.  Kedua telapak tangan ditangkupkan di depan dada.  

Saat menerima Hosti, telapak tangan kiri ditumpangkan di atas telapak tangan kanan. Ucapan pastor, "Tubuh Kristus", dibalas dengan kata "Amin".  

Geser dua langkah ke samping. Lalu masukkan Hosti ke dalam mulut. Langsung ditelan.  

Setelah itu, kembali ke tempat duduk masing-masing. Panjatkan doa syukur di situ.

Latihan menyambut Komuni selesai.  "Siapa yang punya cita-cita jadi pastor di sini?" tanya Pastor Silverius tiba-tiba.

"Si Poltak, Pastornami!"  Seluruh anak calon penerima Komuni Pertama serentak berteriak. Sambil menunjuk ke arah kepala Poltak.

"Ah, Poltak. Bagus sekali. Kamu cocok sekali jadi pastor, Nak.  Sini, maju ke depan."

Poltak maju ke depan altar, tepat di hadapan Pastor Silverius yang tersenyum ramah padanya.  Itu senyum khas pastor yang membuat setiap umat merasa nyaman. Bahkan bisa bikin para gadis dan ibu-ibu muda jatuh cinta.

"Poltak, pastor melantikmu menjadi pastor kecil.  Atas Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Amin."  

Pastor Silverius  memberkati Poltak dengan gerakan tangan membuat tanda salib. "Amin," sambut Poltak sambil membuat tanda salib juga.

Jadilah Poltak menjadi seorang pastor kecil. Sesungguhnya menjadi seorang misdinar dadakan.

Lalu besok harinya, Minggu pagi,  Poltak membantu Pastor Silverius mengadakan kebaktian Misa Komuni Pertama. 

Dia bertugas menuangkan anggur dan sedikit air ke dalam piala. Itu lambang darah Kristus bercampur air yang keluar dari lambungnya, saat seorang sedadu Romawi menikamnya di atas kayu salib.

Setelah itu, Poltak menuangkan air untuk cuci tangan pastor, serta mengangsurkan kain putih untuk lap tangan.  

Hal itu semua dilakukan sebelum konsekrasi, doa pengudusan hosti dan anggur, sehingga berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus.

Saat penerimaan Hosti Kudus, dari semua umat, Poltaklah yang pertama menerima Komuni.  Setelah itu menyusul teman-temannya, anak-anak penerima Komuni Pertama. Lalu, terakhir, umat lainnya.

Selama pembagian Komuni, Poltak berdiri memegang lilin di samping Pastor Silverius. Dalam balutan pakaian misdinar yang sebenarnya kedodoran, Poltak pagi itu tampak sebagai pastor sungguhan.  

Hal itu membuat Binsar dan Bistok, serta teman-temannya yang lain, kagum sekaligus sedikit iri. Tapi apa hendak dikata. Salah mereka sendiri tidak bercita-cita jadi pastor.

"Poltak, benar kau sudah jadi pastor?" tanya Alogo yang meragukan kebenaran cerita itu.  

Semua mata tertuju pada Poltak.  Teman-temannya ingin mendengar pengakuan langsung dari mulutnya.

"Benarlah! Dia sudah diberkati Pastor Paroki kami!" sergah Binsar dengan mata melotot.

"Itu artinya Poltak sudah dilantik jadi pastor!" sambung Bistok.

"Bah. Sudah jadi pastor.  Tak bisalah kau kawin, ya, Poltak," kata Polmer dengan nada sesal.

"Kemanalah Si Berta itu nanti. Tanggungjawablah kau, Poltak," sambung Alogo sambil melirik Berta yang duduk diam menunduk di bangkunya.  

"Diam mulutmu itu, Alogo!" sentak Berta sengit. Dia bangkit dari duduknya dan bergegas ke luar kelas.  Tiur mengekor di belakangnya.

Kabar Poltak jadi pastor kecil adalah berita buruk untuk Berta.  Bukan buruk, tapi terburuk pada hari itu. Tiur tahu itu.

"Berta sedih, Poltak. Kawin dengan siapalah dia kelak," bisik Polmer, dengan nada prihatin.

"Dengan kau saja!" 

"Bah! Gila kau, Poltak.  Manalah bisa. Berta dan aku kan semarga. Bisa dikutuk nenek-moyang aku!" (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun