Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Logika MUI tentang Rudapaksa Santriwati

13 Desember 2021   05:59 Diperbarui: 13 Desember 2021   09:10 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari romatoday.it via liputan6.com

"... stop menyebarluaskan berita buruk ini; dan bahkan kita tutup aib perbuatan buruk ini." -MUI Kota Bandung

Kasus rudapaksa 12 orang santriwati Pesantren Manarul Huda (MH) Bandung oleh HW, guru mereka sendiri, hingga hamil dan membuahkan delapan orang anak,  kini tersebar luas lewat jaringan jagad maya. 

Khalayak menilai, kasus "pagar makan tanaman" sejak 2016 itu terlalu mengerikan. Di luar batas kemanusiaan. Sehingga tak bisa lagi diterima akal sehat dan hati nurani.

Di tengah merebaknya kasus amoral itu ke ruang publik, MUI Kota Bandung merilis surat berisi tujuh butir pernyataan sikap resmi.[1]

Lima pernyataan pertama adalah (1) mengutuk peristiwa itu; (2) pelaku bukan bagian dari lembaga MUI dan lembaga keagamaan lainnya; (3) menyerahkan penanganan kasus itu kepada lembaga hukum; (4) tidak ada advokasi/pendampingan untuk kasus itu; (5) jaga ketulusan dan kemurnian lembaga pendidikan agar tak terulang hal serupa.

Dua yang terakhir adalah (6) demi masa depan korban, stop penyebarluasan berita buruk itu dan tutupi aibnya, dan (7) diduga perbuatan bejat itu terinspirasi oleh antara lain tayangan media sosial.

Sebagai lembaga sosial keagamaan Islam, tentu ketujuh butir pernyataan MUI Kota Bandung itu pasti sudah didasarkan pada nilai-nilai agama Islam. Saya tidak pada pada posisi untuk mempertanyakan benar-salahnya hal itu. Disamping juga, menurut saya, tidak perlu juga dipertanyakan.

Saya hanya ingin mengulik logika substansi pernyataan MUI itu dalam kapasitas sebagai seorang Warga Negara Indonesia. Soalnya pernyataan itu telah menjadi konsumsi publik, tanpa memandang identitas agama pengaksesnya.

MUI "Cuci Tangan"?

Lima pernyataan pertama MUI Kabupaten Bandung itu terkesan "cuci tangan." Tidak mau ikut terpercik kotor karena kasus rudapaksa di pesantren itu.

MUI langsung mengutuk keras peristiwa itu, bukan pelakunya. Ini terkesan janggal. Perbuatan HW sudah jelas-jelas terkutuk dan, karena itu, HW dengan sendirinya juga sudah terkutuk oleh perbuatannya. Jadi, untuk apa lagi mengutuk yang sudah terkutuk. 

Lagi pula aksi mengutuk adalah indikasi keterlambatan. Peristiwa yang dikutuk sudah terjadi dan makan korban. Jadi mengutuk itu tak lebih dari aksi normatif. Tanpa suatu manfaat apapun bagi korban. Kecuali manfaat kepantasan sosial bagi pengutuk.

Aneh juga MUI sampai memerlukan "cuci tangan" dari kasus rudapaksa santriwati di pesantren itu.  Ditegaskan bahwa HW "bukan merupakan  bagian dari lembaga MUI, ataupun lembaga keagaman lainnya, termasuk bukan bagian dari lembaga Forum Pondok Pesantren Kota Bandung". 

Secara implisit, MUI hendak menegaskan bahwa perilaku bejat HW tidak ada kaitannya dengan lembaga-lembaga keagamaan Islam. Itu kasus oknum, bukan representasi lembaga keagamaan.

Aksi "cuci tangan" semacam itu berlebihan. Tanpa pernyataan MUI itu, khalayak sudah paham tindakan mesum HW itu bersifat individual, bukan institusional. Sebab jika institusional, maka semua guru Pesantren MH pastilah melakukan kebejatan serupa.

Satu-satunya alasan yang masuk akal untuk aksi "cuci tangan MUI" adalah untuk mencegah dampak "nila setitik" (HW) merusak "susu sebelanga" (umat Islam). MUI terkesan mencegah  kasus rudapaksa mencemarkan citra pesantren, atau bahkan umat Islam Indonesia.

Barangkali lain soalnya bila HW ditangkap dan diadili karena, misalnya, menista dan memfitnah Presiden Jokowi. Mungkin dari MUI akan keluar pernyataan "kriminalisasi ulama, melukai umat Islam".  Lalu mendukung pembentukan tim pendampingan hukum.

Aib Siapa yang Hendak Ditutupi?

Secara khusus, MUI minta agar warga masyarakat berhenti menyebarkan berita rudapaksa di pesantren itu. Bahkan minta agar menutup aib perbuatan bejat itu. Alasannya untuk menyelamatkan masa depan anak-anak korban rudapaksa.

Pertanyaannya, jika itu aib, maka aib siapa, sehingga harus ditutupi? Aib 12 anak korban rudapaksa oleh HW? Tidak. Aib tak pantas disematkan pada anak-anak itu. Mereka adalah korban yang, dalam usia kanak-kanaknya, belum memiliki kesadaran tentang aib. 

Aib untuk pesantren? Ya, tapi khusus pesantren MH Kota Bandung saja. Pesantren ini bukan representasi  pesantren se-Indonesia. Sehingga kasus itu bukan aib untuk dunia pesantren. Apalagi untuk umat Islam. Itu tak ada logikanya.

Itu alasan saya tadi mengatakan aksi "cuci tangan" MUI itu berlebihan.  Sebab kasus itu tak ada kaitannya dengan pihak-pihak di luar HW dan pesantren MH.

Aib yang ditimbulkan perbuatan bejat HW hanya melekat pada dirinya, dan pesantren MH, bukan pada korban, apalagi pihak lain di luar peristiwa rudapaksa itu.

Tentang aib HW dan keluarganya, tak perlu dijelaskan lagi.  Harusnya itu sejak kejadian rudapaksa pertama sudah menjadi aib besar. Kecuali HW dan keluarganya beranggapan hal itu sesuatu yang wajar. Bahkan mungkin sesuatu yang direncanakan. Kalau benar begitu, maka perlu diperiksa kesehatan mental HW sekeluarga.

Aib juga melekat pada pesantren MH karena sebagai sebuah sistem organisasi, dia gagal mencegah tindakan HW sejak 2016. Fakta jumlah korban rudapaksa 12 santriwati dan kelahiran 8 orang anak, mestinya bukan sesuatu yang bisa disembunyikan. 

Fakta tersebut terakhir mau tak mau memicu dugaan bahwa kegiatan rudapaksa itu sesuatu yang terencana pada tingkat organisasi pesantren. Bisa saja kemudian orang berpikir bahwa rudapaksa itu bukan semata tindakan individual HW lagi. Tapi sudah mengarah pada "program institusional" pesantren MH. Mungkin untuk tujuan "penciptaan obyek pendanaan", atau motif lain yang mestinya bisa diungkap di pengadilan.

Menjadi pertanyaan, apa motif MUI Kota Bandung minta untuk berhenti menyebarluaskan kasus itu dan minta aibnya ditutupi. Bukankah permintaan ini inkonsisten dengan kutukan MUI  atas peristiwa itu? Juga inkonsisten dengan klaim MUI bahwa MH tidak ada hubungannya dengan MUI dan lembaga keagamaan ((Islam) lainnya? 

Permintaan itu juga inkonsisten dengan pernyataan MUI untuk tidak memberikan advokasi atau pendampingan. Sebab meminta khalayak tak menyebarkan kasus bejat itu, dan menutup aib yang ditimbulkannya, adalah bentuk advokasi pasif terhadap HW.

Jadi alasan MUI untuk menutup aib itu, yakni untuk menyelamatkan masa depan anak-anak korban rudapaksa, terkesan sebagai kamuflase. Korban rudapaksa itu sudah diselamatkan dan dilindungi pemerintah (UPDT PPA Jabar dan PPA Polda Habar). Identitas mereka sejauh ini tidak dimunculkan di ruang publik.  

Lebih masuk akal menduga bahwa MUI sedang melakukan advokasi pasif. MUI terindikasi sedang  membentuk opini "tutup aib"  untuk menyelamatkan HW dari sorotan, kecaman, dan tekanan publik. 

Karena itu logis jika menduga MUI memiliki kepentingan dengan kasus rudapaksa di pesantren MH. Sekurang- kurangnya demi menjaga citra umat Islam. Dugaan ini menegasikan lima pernyataan pertama MUI.

Menyalahkan Media Sosial?

Nuansa advokasi MUI Kota Bandung pada MH juga tersurat dari dugaannya  "... bahwa perbuatan bejat ini, salah satunya, diinspirasi oleh beragam tayangan di media khususnya media sosial ...."

Tidak secara spesifik dikatakan tayangan macam apa. Hanya dihimbau agar "... seluruh pihak untuk berhati-hati ... menyebarluaskan tayangan-tayangan yang tidak sesuai dengan norma sosial maupun agama".

Bisa diduga yang dimaksud MUI adalah tayangan-tayangan konten pornografi dalam beragam tingkatannya. Ini jenis konten yang mati-matian diperangi Menkominfo. 

Jadi, kendati mengutuk perbuatan HW, dan melabelinya sebagai perbuatan bejat,  MUI tidak secara eksplisit nenyalahkan pribadi HW. Tapi melempar kesalahan pada faktor di luar diri HW, yaitu tayangan pornografi di media sosial.

MUI lupa, atau mungkin sengaja lupa, bahwa di dalam benak HW itu mestinya telah ada predisposisi kemesuman. Predisposisi ini mendorongnya untuk melampiaskan kemesuman pada orang yang lebih lemah, yang berada dalam kuasanya, yaitu para santriwati usia kanak-kanak yang berasal dari keluarga miskin.  

Tayangan pornografi hanya mungkin sebagai perangsang atau pemicu. Sebab barangkali, jika mengikuti logi MUI itu, HW adalah penggemar konten pornografi. Intinya, keputusan untuk melakukan rudapaksa ada pada diri HW sendiri, bukan pada medsos. 

Bukan apa yang masuk ke dalam kepala HW, melainkan apa yang keluar dari dalam kepalanyalah yang mewujudkan tindakan rudapaksa santriwati itu.  

Dengan menyalahkan media sosial, MUI secara tak langsung menutupi kesalahan bejat HW. Atau sekurangnya meminta khalayak memakluminya. Sehingga, dihimbau, tak perlulah menyebarluaskan fakta kebiadaban itu. Tutupi aibnya, kata MUI. 

Bela Santriwati, Buka Aib Pelaku

Sudah menjadi semacam aksioma di negeri ini, jika ingin mendapat keadilan maka viralkan perkaranya. Jika ingin membela santriwati korban rudapaksa, agar mendapat keadilan dalam bentuk hukuman terberat untuk HW, maka viralkan aib HW dan pesantrennya.

Menutupi aib itu, berarti membela HW, bukan membela santriwati korban. Dari analisis logika surat MUI tadi, itulah yang secara tak langsung dilakukan MUI. MUI tidak perduli pada nasib  12 orang santriwati korban rudapaksa. Tapi lebih perduli menutupi aib HW.

Aib rudapaksa oleh HW itu harus tetap disuarakan, diamplifikasi, dan diviralkan. Itu harus dilakukan sebagai bentuk "tekanan sosial" kepada pengadilan. Agar mengambil keputusan seadil-adilnya atas perkara rudapaksa itu.  

Bahkan sangat bisa diterima jika seluruh santri Indonesia misalnya unjuk rasa menuntut keadilan bagi 12 orang santriwati korban rudapaksa itu. Kasus ini menyangkut kepentingan mereka, khususnya keamanan mereka selama belajar di pesantren. 

Keputusan pengadilan akan menjadi preseden hukum untuk menangani perkara sejenis di masa depan. Jika HW divonis hukuman ringan maka, percayalah, pesantren akan menjadi incaran para predator seks, para perudapaksa dan pedofil.

Tekanan sosial atas suatu persidangan sudah pernah berhasil dalam kasus dakwaan penistaan agama oleh Ahok. Tekanan sosial serupa juga niscaya bisa berhasil untuk kasus rudapaksa santriwati oleh HW.

Kejahatan rudapaksa oleh HW adalah kejahatan kemanusiaan. Itu adalah penistaan terhadap manusia, ciptaan Tuhan yang paling mulia. Itu jauh lebih jahat dibanding penistaan terhadap agama, kitab suci, dan tokoh agama.

Hakim adalah perwakilan Tuhan di persidangan, dan suara khalayak adalah suara Tuhan.  Tuhan tak pernah tidur, tak bisa disuruh diam. Semoga Dia memberi keadilan bagi 12 orang santriwati korban rudapaksa biadab. (eFTe). 

[1] Merujuk pada pemberitaan: "MUI Kota Bandung Minta Warga Berhenti Sebar Berita Buruk Aib Kasus Herry Wirawan Perkosa Santriwati", tribunnews.com, 10/12/2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun