Jadi, kendati mengutuk perbuatan HW, dan melabelinya sebagai perbuatan bejat, Â MUI tidak secara eksplisit nenyalahkan pribadi HW. Tapi melempar kesalahan pada faktor di luar diri HW, yaitu tayangan pornografi di media sosial.
MUI lupa, atau mungkin sengaja lupa, bahwa di dalam benak HW itu mestinya telah ada predisposisi kemesuman. Predisposisi ini mendorongnya untuk melampiaskan kemesuman pada orang yang lebih lemah, yang berada dalam kuasanya, yaitu para santriwati usia kanak-kanak yang berasal dari keluarga miskin. Â
Tayangan pornografi hanya mungkin sebagai perangsang atau pemicu. Sebab barangkali, jika mengikuti logi MUI itu, HW adalah penggemar konten pornografi. Intinya, keputusan untuk melakukan rudapaksa ada pada diri HW sendiri, bukan pada medsos.Â
Bukan apa yang masuk ke dalam kepala HW, melainkan apa yang keluar dari dalam kepalanyalah yang mewujudkan tindakan rudapaksa santriwati itu. Â
Dengan menyalahkan media sosial, MUI secara tak langsung menutupi kesalahan bejat HW. Atau sekurangnya meminta khalayak memakluminya. Sehingga, dihimbau, tak perlulah menyebarluaskan fakta kebiadaban itu. Tutupi aibnya, kata MUI.Â
Bela Santriwati, Buka Aib Pelaku
Sudah menjadi semacam aksioma di negeri ini, jika ingin mendapat keadilan maka viralkan perkaranya. Jika ingin membela santriwati korban rudapaksa, agar mendapat keadilan dalam bentuk hukuman terberat untuk HW, maka viralkan aib HW dan pesantrennya.
Menutupi aib itu, berarti membela HW, bukan membela santriwati korban. Dari analisis logika surat MUI tadi, itulah yang secara tak langsung dilakukan MUI. MUI tidak perduli pada nasib  12 orang santriwati korban rudapaksa. Tapi lebih perduli menutupi aib HW.
Aib rudapaksa oleh HW itu harus tetap disuarakan, diamplifikasi, dan diviralkan. Itu harus dilakukan sebagai bentuk "tekanan sosial" kepada pengadilan. Agar mengambil keputusan seadil-adilnya atas perkara rudapaksa itu. Â
Bahkan sangat bisa diterima jika seluruh santri Indonesia misalnya unjuk rasa menuntut keadilan bagi 12 orang santriwati korban rudapaksa itu. Kasus ini menyangkut kepentingan mereka, khususnya keamanan mereka selama belajar di pesantren.Â
Keputusan pengadilan akan menjadi preseden hukum untuk menangani perkara sejenis di masa depan. Jika HW divonis hukuman ringan maka, percayalah, pesantren akan menjadi incaran para predator seks, para perudapaksa dan pedofil.
Tekanan sosial atas suatu persidangan sudah pernah berhasil dalam kasus dakwaan penistaan agama oleh Ahok. Tekanan sosial serupa juga niscaya bisa berhasil untuk kasus rudapaksa santriwati oleh HW.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!