Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Logika MUI tentang Rudapaksa Santriwati

13 Desember 2021   05:59 Diperbarui: 13 Desember 2021   09:10 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari romatoday.it via liputan6.com

Lagi pula aksi mengutuk adalah indikasi keterlambatan. Peristiwa yang dikutuk sudah terjadi dan makan korban. Jadi mengutuk itu tak lebih dari aksi normatif. Tanpa suatu manfaat apapun bagi korban. Kecuali manfaat kepantasan sosial bagi pengutuk.

Aneh juga MUI sampai memerlukan "cuci tangan" dari kasus rudapaksa santriwati di pesantren itu.  Ditegaskan bahwa HW "bukan merupakan  bagian dari lembaga MUI, ataupun lembaga keagaman lainnya, termasuk bukan bagian dari lembaga Forum Pondok Pesantren Kota Bandung". 

Secara implisit, MUI hendak menegaskan bahwa perilaku bejat HW tidak ada kaitannya dengan lembaga-lembaga keagamaan Islam. Itu kasus oknum, bukan representasi lembaga keagamaan.

Aksi "cuci tangan" semacam itu berlebihan. Tanpa pernyataan MUI itu, khalayak sudah paham tindakan mesum HW itu bersifat individual, bukan institusional. Sebab jika institusional, maka semua guru Pesantren MH pastilah melakukan kebejatan serupa.

Satu-satunya alasan yang masuk akal untuk aksi "cuci tangan MUI" adalah untuk mencegah dampak "nila setitik" (HW) merusak "susu sebelanga" (umat Islam). MUI terkesan mencegah  kasus rudapaksa mencemarkan citra pesantren, atau bahkan umat Islam Indonesia.

Barangkali lain soalnya bila HW ditangkap dan diadili karena, misalnya, menista dan memfitnah Presiden Jokowi. Mungkin dari MUI akan keluar pernyataan "kriminalisasi ulama, melukai umat Islam".  Lalu mendukung pembentukan tim pendampingan hukum.

Aib Siapa yang Hendak Ditutupi?

Secara khusus, MUI minta agar warga masyarakat berhenti menyebarkan berita rudapaksa di pesantren itu. Bahkan minta agar menutup aib perbuatan bejat itu. Alasannya untuk menyelamatkan masa depan anak-anak korban rudapaksa.

Pertanyaannya, jika itu aib, maka aib siapa, sehingga harus ditutupi? Aib 12 anak korban rudapaksa oleh HW? Tidak. Aib tak pantas disematkan pada anak-anak itu. Mereka adalah korban yang, dalam usia kanak-kanaknya, belum memiliki kesadaran tentang aib. 

Aib untuk pesantren? Ya, tapi khusus pesantren MH Kota Bandung saja. Pesantren ini bukan representasi  pesantren se-Indonesia. Sehingga kasus itu bukan aib untuk dunia pesantren. Apalagi untuk umat Islam. Itu tak ada logikanya.

Itu alasan saya tadi mengatakan aksi "cuci tangan" MUI itu berlebihan.  Sebab kasus itu tak ada kaitannya dengan pihak-pihak di luar HW dan pesantren MH.

Aib yang ditimbulkan perbuatan bejat HW hanya melekat pada dirinya, dan pesantren MH, bukan pada korban, apalagi pihak lain di luar peristiwa rudapaksa itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun