Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #078] Rahasia Sepasang Ingus Samson

6 November 2021   05:30 Diperbarui: 6 November 2021   05:51 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

"Hutabolon!" teriak Poltak lagi.

"Juara!" sambut murid-murid SD Hutabolon.

"Hutabolon!"

"Juara!"

Tim SD Hutabolon dan Tim SD Pardomuan mengatur posisi masing-masing di arena pertandingan tarik tambang. 

"Bistok jangkar depan!  Polmer jangkar belakang!"  perintah  Guru Paruhum. Bistok dan Polmer menempati posisi masing-masing. 

"Di tengah Jonder, Dolok, Patar, dan Sahat!" 

Itu susunan tim pemenang.  Pemenang tarik tambang melawan kerbau jantan.

"Pertandingan final segera dimulai.  Pertandingan tiga ronde.  Tim SD Hutabolon dan Tim SD Pardomuan harap bersiap!" Terdengar pengumuman panitia dari pengeras suara.

"Kuda-kuda pasak bumi!" teriak Guru Paruhum pada timnya.

"Heh, ingat, kau Samson Hutabolon! Jangan bikin malu!" Poltak secara khusus menyemangati Polmer.   Lalu digaploknya belakang kepala "Si Samson" itu.

"Bodat kau, Poltak!" Polmer mengumpat kesal.  Lagi, Poltak menggaplok kepalanya. Polmer tambah kesal.

"Ronde pertama! Siap!" Wasit memberi aba-aba.  

"Diam kau, Polmer! Siap tempur!" Guru Paruhum mengingatkan.

Kedua tim dalam posisi berhadapan, siap tempur.  Tali tambang goni terentang agak tegang dipegang dua tim di kedua ujungnya. Wasit memastikan pita merah yang terikat membagi dua tambang sudah tepat berada di atas garis tengah arena.

"Satu! Dua! Tiga!"

Bersamaan teriakan bilangan tiga, tambang langsung menegang kencang.  Di dua ujungnya, Tim SD Hutabolon dan Tim SD Padomuan saling bersitegang. Keduanya mengerahkan tenaga berlawanan. Yang satu bernafsu menumbangkan yang lainnya.

Kedua tim bergeming.  Tim SD Hutabolon dengan kuda-kuda pasak buminya seakan terpancang ke dalam tanah.  

Kuda-kuda Tim SD Pardomuan tidak kalah kokoh.  Kaki-kaki mereka seperti tiang-tiang rumah adat Batak.

Pandangan mata Poltak tak lepas dari kaki-kaki Tim SD Pardomuan.  Dia melihat kuda-kuda pemain tengah lawan mulai agak goyah. Tapi waktunya belum tepat.

"Sintak!" teriak Poltak keras, saat pemain lawan nomor tiga ganti posisi kaki.

Bersamaan dengan itu, Tim SD Hutabolon menyentak tambang sekuat tenaga.  Tim SD Pardomuan langsung terjerembab berantakan.

"Hutabolon!" teriak Poltak.

"Juara!" Murid-murid SD Hutabolon bersorak-sorai.  Hiruk-pikuk.

Kedua tim melakukan koordinasi. Guru pelatih masing-masing memberi arahan dan semangat.

"Gogo! Gogo! Gogo!" Tiba-tiba terdengar sorakan dari murid-murid SD Pardomuan.  

Tim itu melakukan pergantian pemain.  Seorang anak bernama Gogo masuk menjadi jangkar depan. Badannya bongsor, semacam anak raksasa.  Lebih bongsor dibanding Polmer.  Tapi tampangnya tak selayaknya murid SD.  Sudah remaja puber dengan hiasan kumis tipis di atas bibirnya. Pantasnya Si Gogo itu sudah masuk SMP.

"Ronde kedua! Tim SD Hutabolon dan Tim SD Pardomuan harap siap di arena!" Pengumuman lagi.

Kedua tim kini kembali berhadapan.  Bistok dan Gogo, sama-sama jangkar depan, saling melotot.  Seakan mau saling telan.

Tiba-tiba Poltak melihat sesuatu yang tak beres. Mulut Gogo komat-kamit.  Semula Poltak menyangka Gogo sedang baca mantra. Tapi Poltak kemudian bisa membaca gerak bibirnya.  Ternyata Gogo melontarkan umpatan kasar, tapi tak terdengar, kepada Binsar. Umpatan yang menghina inong,  ibu Binsar dengan menyebut alat kelaminnya.

Bistok termakan taktik kotor Tim SD Pardomuan.  Umpatan Si Gogo menaikkan emosinya.  Wajahnya merah padam karena tersinggung dan marah.  Konsentrasinya menjadi buyar.  Itulah yang diharapkan Tim SD Pardomuan.

"Kedua tim, siap! Satu! Dua! Tiga!" Wasit meneriakkan aba-aba tanding.

Tali tambang goni langsung meregang kencang. Kedua tim sekuat tenaga berusaha menyeret tumbang lawannya. 

Kekuatan kedua tim masih berimbang, sampai kemudian mulut Si Gogo komat-kamit. Dia mengumpat kasar lagi pada Bistok.  Emosi Bistok memuncak.  Benar-benar marah. Konsentrasinya buyar, kuda-kudanya berantakan.

"Bistok! Tahan emosi!" Poltak berteriak mengingatkan.  

Tapi sudah terlambat.  Kuda-kuda Bistok, jangkar depan, sudah terlanjur kacau.  Polmer, jangkar belakang, sudah kewalahan.

"Lepas!" teriak Poltak kepada Tim SD Hutabolon.

Tim SD Hutabolon mendadak melepas tali tambang.  Tak menduga hal itu terjadi, Tim SD Pardomuan langsung tumbang berhimpitan ke belakang.  

"Kita menang! Menang! Menang!" Murid-murid SD Pardomuan bersorak-sorai menyambut kemenangan timnya di ronde kedua.

"Poltak! Gila kau! Kenapa kau suruh lepas!" Guru Paruhum berteriak pada Poltak dengan nada bentak.

"Percuma, Gurunami.  Buang-buang tenaga saja.  Binsar sudah kacau. Emosi dia dikata-kasari Si Gogo itu."  Poltak menjelaskan duduk perkara.

"Bah, rusak kita. Bagaimana ini?" Guru Paruhum tampak kebingungan setelah paham apa yang terjadi.

"Santabi, Gurunami.  Ronde ketiga, Polmer maju jadi jangkar depan.  Bistok mundur jadi jangkar belakang." Poltak mengusulkan strategi ganti posisi pemain.

Guru Paruhum manggut-manggut tanda setuju.  "Betul juga," pikirnya, "kalau Bistok tetap jadi jangkar depan, kejadian serupa akan terulang. Berarti kalah."

"Skor seri.  Satu lawan satu.  Ronde terakhir segera dimulai. Kedua tim harap siap di arena."  Pengumuman panitia bergema.

Poltak mendekati Polmer yang sudah siap di posisi jangkar depan.

"Polmer.  Itu Si Gogo menghina inongmu. Menghina amongmu.  Dia berkata-kasar. Disebut-sebutnya anu inongmu dan anu amongmu."

Wajah Polmer mendadak memerah. Marah besar. Dia melotot pada Gogo, menebar aura ancaman.  Pada saat bersamaan, mulut Si Gogo komat-kamit berkata-kasar, menyebut alat kelamin ibu dan bapak Polmer.

Kemarahan Polmer memuncak. Dia membalas Gogo dengan kata kasar serupa.  Muka Gogo memerah marah.  Berkata kasar lagi.

Dua ingus hijau Polmer mulai turun mengintip dari kedua lubang hidungnya.  Pertanda kemarahannya sudah menyentuh ubun-ubun.

"Polmer! Hajar Si Gogo! Inongmu, amongmu, sudah dihinanya!" Poltak berbisik keras ke telinga kiri Polmer.

Bersamaan dengan provokasi Poltak, sepasang ingus hijau Polmer meler sempurna di atas bibirnya. Kemarahannya sudah tembus ubun-ubun.

"Siap!" Wasit meneriakkan aba-aba tanding ronde ketiga. "Satu! Dua! Tiga!"

Tidak ada yang tahu kalau Polmer sudah berubah menjadi Samson, kecuali Poltak. Dari kejadian perkelahian, gulat, antara Polmer dan Binsar dulu waktu kelas satu, Poltak tahu bahwa semakin panjang ileran ingus Polmer karena marah, semakin lipat-ganda tenaganya. 

Itu sebuah rahasia "kesamsonan" Polmer. Hanya Poltak yang tahu dan menyadarinya. Polmer sendiri bahkan tak menyadari itu.

Benar saja.  Dengan sepasang ingus hijaunya, wajah Polmer tampak mengerikan. Ekspresinya seakan hendak mengerkah dan melumat kepala Si Gogo.  

Sebaliknya Si Gogo mulai kehilangan konsentrasi.  Ingus Polmer dan ekspresinya yang menyeramkan mulai mengganggunya. Kuda-kudanya mulai goyah. Cengkeramannya pada tambang perlahan mulai melonggar.  

"Sintak!" Poltak berteriak sekeras-kerasnya.

Bersamaan dengan itu, Tim SD Hutabolon menyentak tambang dengan kekuatan luar biasa.  Sedemikian kuatnya sentakan itu, sehingga keenanm anggota Tim SD Pardomuan depan terlontar ke depan melewati garis batas.

"Hutabolon!" teriak Poltak.

"Juara! Juara! Juara!" Murid-murid SD Hutabolon gemuruh bersorak gembira.  SD Hutabolon meraih juara pertama pertandingan tarik tambang pada Perayaan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1972.

Di tengah keriuhan itu, tiba-tiba Poltak melihat Polmer dan Gogo saling mendekat cepat dengan tinju terkepal.  Kedua anak itu akan berkelahi untuk melampiaskan amarah masing-masing. 

"Polmer! Jangan!" 

Poltak melompat menghadang Polmer dengan tangan terentang. Niatnya mencegah perkelahian.  Tapi terlambat.  Bogem telah keburu dilontarkan.  Dari arah depan, tinju kanan Polmer menerpa mata kiri Poltak. Sementara dari arah belakang, tinju kanan Gogo menerpa belakang kepalanya. 

Poltak bagai pelanduk terinjak dua gajah beradu. Pandangannya langsung berkunang-kunang. 

"Merdeka!" serunya lemah, dengang tangan kanan terkepal ke atas.

Setelah itu, dunia langsung senyap dan gelap. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun