Guru Paruhum manggut-manggut tanda setuju. Â "Betul juga," pikirnya, "kalau Bistok tetap jadi jangkar depan, kejadian serupa akan terulang. Berarti kalah."
"Skor seri. Â Satu lawan satu. Â Ronde terakhir segera dimulai. Kedua tim harap siap di arena." Â Pengumuman panitia bergema.
Poltak mendekati Polmer yang sudah siap di posisi jangkar depan.
"Polmer.  Itu Si Gogo menghina inongmu. Menghina amongmu.  Dia berkata-kasar. Disebut-sebutnya anu inongmu dan anu amongmu."
Wajah Polmer mendadak memerah. Marah besar. Dia melotot pada Gogo, menebar aura ancaman. Â Pada saat bersamaan, mulut Si Gogo komat-kamit berkata-kasar, menyebut alat kelamin ibu dan bapak Polmer.
Kemarahan Polmer memuncak. Dia membalas Gogo dengan kata kasar serupa. Â Muka Gogo memerah marah. Â Berkata kasar lagi.
Dua ingus hijau Polmer mulai turun mengintip dari kedua lubang hidungnya. Â Pertanda kemarahannya sudah menyentuh ubun-ubun.
"Polmer! Hajar Si Gogo! Inongmu, amongmu, sudah dihinanya!" Poltak berbisik keras ke telinga kiri Polmer.
Bersamaan dengan provokasi Poltak, sepasang ingus hijau Polmer meler sempurna di atas bibirnya. Kemarahannya sudah tembus ubun-ubun.
"Siap!" Wasit meneriakkan aba-aba tanding ronde ketiga. "Satu! Dua! Tiga!"
Tidak ada yang tahu kalau Polmer sudah berubah menjadi Samson, kecuali Poltak. Dari kejadian perkelahian, gulat, antara Polmer dan Binsar dulu waktu kelas satu, Poltak tahu bahwa semakin panjang ileran ingus Polmer karena marah, semakin lipat-ganda tenaganya.Â