Bersamaan dengan itu, Tim SD Hutabolon menyentak tambang sekuat tenaga. Â Tim SD Pardomuan langsung terjerembab berantakan.
"Hutabolon!" teriak Poltak.
"Juara!" Murid-murid SD Hutabolon bersorak-sorai. Â Hiruk-pikuk.
Kedua tim melakukan koordinasi. Guru pelatih masing-masing memberi arahan dan semangat.
"Gogo! Gogo! Gogo!" Tiba-tiba terdengar sorakan dari murid-murid SD Pardomuan. Â
Tim itu melakukan pergantian pemain. Â Seorang anak bernama Gogo masuk menjadi jangkar depan. Badannya bongsor, semacam anak raksasa. Â Lebih bongsor dibanding Polmer. Â Tapi tampangnya tak selayaknya murid SD. Â Sudah remaja puber dengan hiasan kumis tipis di atas bibirnya. Pantasnya Si Gogo itu sudah masuk SMP.
"Ronde kedua! Tim SD Hutabolon dan Tim SD Pardomuan harap siap di arena!" Pengumuman lagi.
Kedua tim kini kembali berhadapan. Â Bistok dan Gogo, sama-sama jangkar depan, saling melotot. Â Seakan mau saling telan.
Tiba-tiba Poltak melihat sesuatu yang tak beres. Mulut Gogo komat-kamit. Â Semula Poltak menyangka Gogo sedang baca mantra. Tapi Poltak kemudian bisa membaca gerak bibirnya. Â Ternyata Gogo melontarkan umpatan kasar, tapi tak terdengar, kepada Binsar. Umpatan yang menghina inong, Â ibu Binsar dengan menyebut alat kelaminnya.
Bistok termakan taktik kotor Tim SD Pardomuan. Â Umpatan Si Gogo menaikkan emosinya. Â Wajahnya merah padam karena tersinggung dan marah. Â Konsentrasinya menjadi buyar. Â Itulah yang diharapkan Tim SD Pardomuan.
"Kedua tim, siap! Satu! Dua! Tiga!" Wasit meneriakkan aba-aba tanding.