Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Baim Wong dan Sindrom Good Samaritan

13 Oktober 2021   13:56 Diperbarui: 14 Oktober 2021   02:04 2262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi good samaritan | hermitagemuseum.org

Penolong yang tulus menolak sohor, tapi penolong yang bulus mengejar tenar. -Felix Tani 

Baim Wong dan Lelaki Tua

Viral di media sosial dan media massa. Baim Wong, selebritas sekaligus youtuber sohor, memarahi Suhud, lelaki tua 77 tahun. 

Baim menyangka Suhud seorang peminta-minta. Naik motor bebek, lelaki tua itui menguntit Baim yang sedang mengendarai motor besar sampai ke depan rumahnya. 

Di depan rumah Baim, lelaki tua itu berusaha menjelaskan dia hendak menawarkan barang dagangannya kepada Baim. 

"Bantu-bantu saya. Saya jualan ini." Dia hendak mengambil barang dagangannya.

"Jangan, nggak ada ngemis-ngemis begitu," potong Baim dengan nada suara tinggi. 

Rona wajah Baim tampak kesal. Dia lalu balik badan ke arah sejumlah tukang ojol yang mangkal di depan rumahnya.

"Tuh, kayak dia tuh, kerja. Kerja, kasih duit. Jangan mengemis." Baim, secara demonstratif, lalu membagikan uang kepada para pengojol itu. 

Sembari membagikan uang, sesekali Baim menoleh ke arah Suhud. Di atas motornya, Pak Suhud duduk mengamati aksi Baim dengan ekspresi wajah bingung.

"Masa ngemis ngikutin. Malu-maluin aja. Ngejar-ngejar minta duit," tegas Baim lagi. 

Baim kemudian menunggang motornya dan masuk ke halaman rumahnya. Meninggalkan Suhud sendiri di luar.

Respon Penghakiman dari Khalayak

Kejadian itu langsung jadi santapan empuk pegiat medsos dan media massa. Jagad medsos khususnya riuh-rendah dengan penghakiman dan vonis.

Suhud mendadak ditampilkan sebagai orang tua miskin yang teraniaya. Terhina tanpa daya. 

Sementara Baim Wong dicap sebagai orang muda kaya yang angkuh. Tak beretika dan minus empati sosial. 

Sejumlah pendekar keadilan sosial (social justice warrior) muncul di ruang publik. Mereka membela Suhud sebagai korban ketakadilan sosial. Ada yang mengumpulkan donasi untuk Suhud. Ada pula yang mengajaknya belanja ke mal. Bahkan ada yang berniat melaporkan Baim ke Komnas HAM.

Jagad Youtube pun ramai dengan kecaman dan hujatan kepada Baim Wong. Pokoknya, tiada ampun untuk penghina orang tua. Sekalipun orangtua itu misalnya pengemis.

Sebagian netizen juga unjuk solidaritas untuk Suhud. Mereka menghukum Baim Wong dengan langkah unsubscribe akun Youtube-nya

Berdasar kejadian itu, netizen dan pegiat medsos menyimpulkan begitulah watak asli Baim Wong. Angkuh, minus empati, miskin solidaritas. Pokoknya, kata netizen, "Baim, yang kamu lakukan itu jahat."

Pledoi Baim Wong 

Dalam satu video klarifikasi, Baim bilang tak menyesal atas apa yang telah terjadi. Dia jujur pada dirinya saat melakukan itu.

Baim mengaku tak suka pada cara Suhud minta duit padanya. Pakai teriak di jalanan: "Baim! Minta duit, Im!" Lalu, karena tak ditanggapi, menguntit Baim sampai ke depan rumahnya.

Konteksnya, Baim sedang main naik motor besar dengan Kiano, anaknya, keliling komplek pemukiman. Ulah Suhud baginya adalah gangguan terhadap privasinya.

Baim bilang dirinya memang punya uang dan kerap membantu orang kecil dengan duitnya itu. Tapi dia tidak mau membantu orang yang meminta uang secara paksa padanya. Tindakan Suhud dinilainya memaksa.

Menurut Baim, dirinya ingin memberi pelajaran kepada Suhud dan orang lain yang seperti itu. "Siapa pun kamu, kalau mau dapat uang, harus kerja. Dengan minta-minta secara paksa, kamu nggak akan mendapat apa-apa."

Sindrom Good Samaritan

Saya tak hendak menyalahkan Baim Wong ataupun Suhud. Hanya ingin menjelaskan kejadian itu sebagai suatu peristiwa sosiologis.

Saya menggunakan konsep Good Samaritan Syndrome (Sindrom Orang Samaria yang Baik Hati). Konsep ini merujuk pada gejala psikologis individu yang mempersepsikan dan mencitrakan diri sebagai penolong yang baik hati bagi orang-orang tak beruntung, semacam orang miskin, abak yatim-piatu, dan warga disabilitas.

Konsep Good Samaritan sendiri merujuk pada sebuah perumpamaan dalam Injil. Itu kisah tentang lelaki Samaria yang menjadi satu-satunya orang yang sudi menolong seorang korban perampokan yang terluka di pibggir jalan sepi. Perumpamaan itu dikusahkan Yesus untuk menjawab pertanyaan "Siapakah sesamaku manusia?"

Good Samaritan, jika merujuk Max Weber, adalah tipe ideal. Dalam kehidupan nyata tak ada orang seperti itu. Orang yang menolong tanpa pamrih. 

Dalam dunia nyata kini, kata Marcel Mauss, tidak ada pertolongan atau pemberian tanpa pamrih. Selalu ada imbalan yang diharap. Secara langsung lewat pemberian balik. Atau rejeki lewat tangan-tangan taktampak. Atau setidaknya pahala, bekal masuk surga (jika dpercaya ada).

Dorongan psikis untuk selalu ingin tampil menolong orang-orang lemah, dan dengan itu menjadi viral dan terkenal sebagai orang baik hati, itulah yang dimaksud sebagai Sindrom Good Samaritan di sini.

Baim sebagai Korban Citra 

Baim Wong, dan banyak Youtuber Indonesia, yang memproduksi konten bertema "pertolongan untuk orang lemah" sedikit banyak agaknya terjangkiti oleh Sindrom Good Samaritan itu.

Seakan menjadi Orang Samaria yang Baik Hati, dalam kanal Youtube-nya, khalayak bisa menonton kemurahan hati Baim menolong orang-orang kecil yang ditemuinya di jalanan. Tukang ojek, pedagang keliling, pemulung, penjaja makanan, kuli, dan sebagainya.

Penonton bisa melihat, dengan menjawab sejumlah pertanyaan tentang dirinya, orang-orang kecil itu beruntung mendapatkan sejumlah uang dari Baim. 

Pertunjukan semacam itu membentuk citra Baim sebagai "orang kaya yang murah hati". Disadari atau tidak, citra semacam itulah yang ditarget oleh seseorang yang terjangkit Sindrom Good Samaritan.

Ada logika ekonominya. Konten kemurahan hati disukai khalayak. Maka konten itu di-view dan di-like banyak orang. Kanal Youtube-nya juga akan di-subscribe banyak orang. 

Semakin banyak subscriber, view, dan like, semakin banyak adsense dan, karena itu, semakin besar pendapatan. Semakin besar pendapatan, maka semakin besar surplus untuk modal produksi konten serupa terus-menerus.

Uang yang dibagikan Baim, juga Youtuber lain yang sejenis, kepada orang-orang kecil terhitung sebagai komponen biaya produksi. Jumlahnya adalah "sebutir kacang" dibanding pendapatan yang didulang dari Youtube. 

Itu murni kegiatan bisnis kapitalistik. Orang-orang kecil yang ditolong itu bukanlah subyek, melainkan obyek bisnis atau, lebih buruk lagi, sekadar alat produksi. 

Celakanya, bagi banyak penonton lapisan bawah yang kurang cerdas, Baim di Youtube dianggap sama dengan Baim sejatinya. Mereka tak bisa membedakan "pencitraan" dan "kesejatian". 

Mereka memuja Baim, menganggapnya sebagai "orang muda kaya yang baik hati". Orang yang sedia menolong siapapun yang berkesusahan. Kapanpun di manapun. Tanpa pandang bulu.

Persepsi seperti itulah yang tertanam di benak Suhud. Mungkin dia betul orang miskin yang butuh duit. Lalu, saat melihat Baim di depannya, dia yakin telah menemukan solusi untuk masalahnya.

Tapi Suhud tidak paham, seseorang yang terkena Sindrom Good Samaritan datang kepada orang yang akan ditolongnya. Bukan didatangi oleh orang yang memerlukan pertolongan. 

Begitulah Baim sebagaimana tampil di Youtube-nya. Pemberian bantuan atau pertolongan kepada seseorang harus sesuai dengan skenario yang dibangunnya. Entah itu skenario formal di atas kertas, atau skenario berupa "pengetahuan siap" di benaknya. 

Baim memilih sendiri, berdasar kriteria subyektifnya, orang yang akan dibantu. Berdasar hasil dialognya, dia sendiri yang menentukan berapa rupiah jumlah bantuan. Juga menentukan untuk apa bantuan itu harus digunakan.

Baim tak siap menghadapi sesuatu yang ada di luar skenarionya. Dia akan resisten terhadap hal-hal seperti itu. 

Itulah yang terjadi dengan Suhud. Lelaki tua itu datang padanya di luar skenario. Karena itu Baim Wong menolaknya.

Pada kasus Suhud itu, sejatinya Baim telah menjadi korban dari pencitraannya sendiri. Korban dari Sindrom Good Samaritan, pencitraan sosial, yang mewajibkan dirinya bermurah hati kepada siapapun orang yang butuh pertolongan.

Saat Baim ingin menjadi diri sendiri, bukan sosok murah hati seperti dicitrakannya, maka dalam pandangan khalayak dia tampil sebagai sosok yang zalim, angkuh, dan minus empati sosial. Itulah yang dilihat orang pada interaksi Baim dan Suhud yang viral itu.

Sindrom Good Samaritan telah merampas privasi Baim Wong. Merampas kedaulatannya untuk tampil apa adanya sebagaimana karakter aslinya.

Kesimpulan Tanpa Kesimpulan

Bagi saya, kasus Baim dan Suhud itu absurd, seabsurd realitas palsu di dunia maya, khususnya jagad medsos, termasuk Youtube. Medsos selamanya adalah pencitraan. Tak pernah menjadi realitas itu sendiri. Percaya pada konten medsos sama dengan percaya pada mimpi, khayal, ataupun bualan.

Karena itu saya menolak untuk mengambil kesimpulan apapun atas kasus itu. Sebab suatu kesimpulan tentang absurditas jatuhnya absurd juga.

Apakah saya bisa menyimpulkan Baim atau Suhud, para pendekar keadilan sosial dan atau netizen sebagai pihak yang salah? Atau pihak yang dirugikan atau sebaliknya diuntungkan oleh viralitas kasus itu.

Lihat faktanya. Kasus itu berawal dari duit dan berakhir pada uang. Suhud pada akhirnya mendapatkan uang donasi dari pendekar keadilan sosial dan netizen yang bersimpati. Para pengecam dan penghujat Baim banjir views di kanal Youtube dan, karena itu, kebanjiran adsense atau duit juga. 

Baim, mungkin sementara kehilangan beberapa ratus ribu subscriber. Tapi yakinlah, netizen kita maha pemarah yang pelupa. Dengan satu kata maaf dari Baim, terbuka tau tertutup, subscriber-nya akan berjubel lagi.

Atau barangkali ada yang mau mengatakan ada harga diri yang terinjak dalam kasus ini. Dengarlah kata-kata saya: Saat tangan sudah menggenggam segepok uang, maka bukan harga diri lagi yang dipikirkan, melainkan harga beli. (eFTe).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun