Â
Putus cinta soal biasa, putus rokok luar biasa!
Itu kredo perokok yang sudah populer setidaknya sejak 1970-an. Â Saya katakan sejak 1970-an, karena waktu itu saya sudah membaca kalimat itu digoreskan pada penampang bukit yang dibelah jalan raya di Toba sana. Â Juga kerap terdengar diteriakkan pemuda kampungku yang kehabisan rokok, sambil minta sebatang rokok temannya.
Pilih! Rokok atau saya!
Itu adalah tantangan paling dungu dari seorang gadis kepada perjaka pacarnya yang perokok berat. Â Disebut dungu karena si gadis mendegradasi nilainya menjadi setara nilai rokok.
Saya pilih rokok!
Itu jawaban lelaki pacarnya.  Sebab bagi lelaki itu, lebih baiklah memilih rokok yang nilainya setara  seorang gadis, ketimbang seorang gadis yang nilainya setara rokok.  Dua pilihan yang setara dungunya.
Itu sebabnya dikatakan "Putus cinta soal biasa, putus rokok luar biasa." Â
Dan masuk akal juga sebenarnya. Â Sebab lelaki yang putus cinta masih bisa nikmat merokok. Â Tapi lelaki yang putus rokok, tak bisa menikmati sedapnya cinta. Â Rokok dulu baru cinta.
Cinta bukan senjata pemutus rokok.
Saya hanya ingin bilang, jangan pernah gunakan cinta sebagai alasan untuk memutus tabiat merokok. Â Terlalu rendah nilai cinta kalau digunakan sekadar senjata melawan rokok. Selain juga tak mempan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!