Danau Toba (KDT) tergolong kota tua. Terutama kota-kota sepanjang  jalan raya lintas Sumatera. Semisal Parapat, Porsea, Balige, Siborongborong, dan Tarutung.  Tapi juga "kota pedalaman" seperti Parsoburan, Doloksanggul, dan Pangururan.
Kota-kota kecil di kawasanEmbrio kota-kota itu, dalam bentuk bius, federasi  kampung-kampung, sudah ada sebelum Belanda menjajah Tanah Batak tahun 1878. Pencirinya adalah keberadaan Onan Namarpatik, pasar besar yang dilindungi hukum, di sana. Onan itu adalah ajang interaksi ekonomi, sosial, dan politik sekali seminggu antar warga dari kampung-kampung sekitarnya.
Di masa penjajahan, sesuai kepentingan Belanda, kota-kota itu mendapat sentuhan pengembangan. Dari situ masing-masing kota mendapat penciri. Parapat kota peristirahatan. Porsea lumbung beras [1]. Balige kota tenun [2]. Siborongborong venue pacuan kuda [3]. Tarutung pusat penyebaran agama Protestan [4]. Parsoburan kawasan kebun teh [5]. Doloksanggul pusat niaga kemenyan.
Sejak 1970 Â hingga paruh pertama 2010-an, era pembangunan nasional, nyaris tak ada perubahan revolusioner di kota-kota itu. Semua berjalan begitu lambat. Sehingga evaluasi seturut "mata memandang" tiap sepuluh tahun tak memperlihatkan kemajuan signifikan.
Barulah di paruh kedua 2010-an ada terobosan mendasar dari pemerintah. Kebijakan pembangunan wisata mencanangkan Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai  Destinasi Super Prioritas (DSP). DSP Toba,  bersama empat DSP lainnya  (Mandalika, Borobudur, Labuan Bajo, Likupang) akan mewujudkan Wonderful Indonesia.
Pembangunan wisata pun langsung menggeliat penuh gairah di KDT. DSP Toba mengangkat potensi besar Heritage of Toba berupa kekayaaan sosial, Â sejarah, budaya, geopark, dan lingkungan alam sebagai daya tarik. Ajakan "MICE di Indonesia Aja" Â pun menunjuk destinasi KDT.
Rencana Induk Destinasi Pariwisata Prioritas (RIDPP) Danau Toba Tahun 2020-2045 lantas menetapkan pengembangan enam  Key Tourism Area (KTA). Ada empat KTA lama yaitu Parapat (MICE dan Rekreasi), Balige (Pusaka Kota), Pangururan (Geologi) , dan Simanindo (Budaya).Â
Lalu dua KTA baru yaitu Muara (Budaya dan Geologi) dan Merek (Alam/Ekologi). Keenam KTA itu diproyeksikan menjadi pusat-pusat pertumbuhan industri wisata di KDT.
Dari enam KTA itu, karena dua alasan, saya tertarik memberi masukan untuk KTA Balige. Pertama, label "pusaka kota" mengindikasikan nilai Balige sebagai kota tua yang berperan penting dalam sejarah sosial, politik, dan ekonomi KDT. Â
Kedua, kendati fokusnya "pusaka kota", RIDPP Danau Toba Tahun 2020-2045 tampaknya melupakan satu ikon sosial-ekonomi Balige yaitu mandar, sarung Balige.Â
Balige adalah kota sarung. Dia telah menyarungi orang Batak. Tanpa sarung, dia bukan Balige.Â
Karena itu revitalisasi industri mandar, sarung Balige menjadi sangat penting. Mandar akan menjadi penciri khas, sekaligus daya tarik wisata sejarah dan belanja di KTA Balige.
Sejarah Sosial Balige
Balige kini ibukota Kabupaten Toba. Posisinya 235 km di selatan Medan, 60 km di selatan Parapat, dan 25 km di utara Siborongborong. Letaknya di kaki Gunung Doloktolong, tepi pantai selatan Danau Toba.
Menurut sejarah lokal, Balige adalah satu dari tiga bius, federasi kampung, utama Batak yang terbentuk  sekitar abad ke-11 sampai 13.  Nama aslinya bius Baligeraja, dipimpin Dinasti Sorimangaraja. Dua bius lainnya adalah Sianjurmula-mula (Pusukbuhit, Dinasti Jonggimanaor, dan bius Urat (Samosir Selatan, Dinasti Paltiraja. [6]
Saat Perang Batak (1878-1907) pecah, bius Baligeraja tampil  sebagai pendukung Sisingamangaraja XII yang paling setia. Balige menjadi  ajang pertempuran paling sengit antara tentara Belanda dan tentara Batak.
Setelah Perang Batak usai (1907) Â Belanda menjadikan Balige ibukota Onderafdeling Toba, Bataklanden. Â Berada di jantung Tanah Batak, Belanda menilai Balige sangat strategis secara politik dan ekonomi untuk mendukung kekuasaannya. Â
Belanda mengembangkan Balige sebagai kota pelabuhan, niaga, dan industri. Isolasi geografisnya dibuka. Jalan penghubung Balige ke Parapat sampai Medan di utara dan ke Tarutung sampai Sibolga dibuka tahun 1917-1920. Sehingga arus arus manusia, barang, pengetahuan, dan teknologi dari dan ke Balige menjadi lancar dan efisien.
Lalu pada awal 1930-an, Â bertepatan masa Depresi Besar, Belanda mengembangkan industri tenun di Balige. Tujuannya antisipasi dampak Depresi Besar pada ekonomi rakyat setempat dan Sumatera Timur.
Produk utama industri tenun Balige waktu itu terutama adalah mandar, sarung katun. Lainnya kain sela, bahan utuk taplak dan tirai. Semua itu menjadi produk  substitusi tekstil impor yang terkendala oleh Depresi Besar. Produk tenun katun Balige berhasil memenuhi permintaan tekstil murah  di Sumatera Timur dan, tentu saja, di Afdeling Bataklanden.
Industri tenun Balige berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi Tanah Batak. Selain menyediakan tekstil murah, dia juga menyerap tenaga kerja dan menciptakan peluang usaha dan kerja pemasaran tekstil. Hal itu dapat mencegah gejolak politik, semisal protes petani dan buruh perkebunan.
Jadi, secara geo-ekonomi politik, pengembangan industri tenun Balige relatif berhasil menjaga stabilitas politik Tanah Batak dan bahkan Sumatera Timur. Hal itu benar semasa penjajahan Belanda sampai masa kemerdekaan, sekurangnya sampai paruh pertama 1980-an. Â
Balige Kota Sarung
Sebelum penjajah Belanda datang, Balige sudah menjadi sentra industri tenun tradisional gedogan. Balige terkenal sebagai penghasil tenunan ulos Batak terbaik di Toba Holbung (Toba).
Sejarah industri tenun modern Balige dimulai pada paruh pertama 1930-an. Belanda memfasilitasi sejumlah kecil pengusaha lokal untuk merintis industri tenun modern. Antara lain  Baginda Pipin Siahaan, H.O. Timbang Siahaan, dan Karl Sianipar. Mereka diberi bantuan ATBM dan benang katun berikut pelatihan.[7]
Pada masa kemerdekaan, Presiden Soekarno menerapkan "Politik Benteng" (1950-1957). Tujuannya menumbuhkan pengusaha pribumi. Untuk industri tekstil ada pembagian jatah benang.
Di Balige, selain menguatkan pengusaha terdahulu,  kebijakan itu juga melahirkan banyak pengusaha tenun baru. Salah satunya TD Pardede yang  kemudian mendirikan Pardedetex di Medan.Â
Periode Politik Benteng itulah awal masa keemasan Balige sebagai "kota tenun sarung".
Puncaknya terjadi tahun 1970-an sampai paruh pertama 1980-an. Jumlah pabrik tenun sarung waktu itu sekitar 70-80 unit. Sebagian skala besar.
Balige tumbuh menjadi pusat industri tenun terkemuka di Sumatera. Alat tenunnya ditingkatkan dari ATBM menjadi ATM. Tambahan tenaga kerja mengalir dari Humbang dan Barus di selatan.Â
Sarung tenun Balige, produk utama, dikirim setiap hari ratusan bahkan ribuan kodi ke empat penjuru mata angin. Ke Simalungun, Deli, Medan, Tanah Karo, sampai Aceh di utara. Ke Asahan di timur. Ke Humbang, Silindung, Sibolga sampai Angkola di Selatan. Ke Samosir dan Dairi di barat.
Waktu itu sarung tenun katun Balige ada di mana-mana dengan aneka penggunaan. Mulai dari kain bedong bayi, ayunan balita, gendongan balita, bawahan harian, tudung kepala, syal penahan udara dingin, sarung sembahyang, dan selimut tidur di malam hari.
Itulah masa kejayaan Balige sebagai kota tenun. Â Masa ketika kota itu sukses menyarungi semua orang Batak di Tapanuli dan sekitarnya. Sampai-sampai Balige dijuluki "Majalaya Kedua", merujuk kota sentra industri tenun Indonesia terbesar di Priangan Selatan.
Jadikan Sarung Pusaka Kota
Tapi kejayaan industri tenun sarung Balige kini tinggal kenangan. Proses kejatuhannya terjadi sejak paruh kedua 1980-an. Â Tahun 2018 jumlahnya tinggal 12 unit. Skalanya juga menciut jadi usaha kecil/menengah dan bahkan mikro, skala rumahtangga.Â
Sedikitnya ada empat penyebab kejatuhan industri tenun Balige. Pertama, krisis suksesi. Anak cenderung tak mau meneruskan usaha orangtuanya.Â
Kedua, persaingan dengan produk sarung berbahan sintetis.  Sarung sintetis  dinilai lebih mewah, ketimbang sarung katun Balige yang terkesan kumuh dan murah..Â
Ketiga, revoluai celana panjang. Sejak 1980-an perempuan Batak lebih memilih mengenakan celana panjang ketimbang sarung sebagai busana harian. Â
Keempat, miskin inovasi. Sejak jaman penjajahan sampai sekarang produk tenunan Balige, baik mandar maupun sela nyaris tak berubah. Bahannya katun kasar, motifnya kotak-kotak dan garis-garis.
Dengan pencanangan DSP Toba, khususnya KTA Balige "Pusaka Kota", saatnya tepat untuk revitalisasi industri tenun Balige. Jadikan kain tenun sarung, juga sela, dan produk turunannya sebagai ikon wisata kota Balige. Â
Sarung tenun dan kain sela Balige itulah ikon sekaligus pusaka terpenting Balige. Tanpa bermaksud mengesampingkan pusaka lain yang dicatat dalam dokumen RIDPP Danau Toba Tahun 2020-2045. Seperti onan balairung berarsitektur Rumah Batak (bikinan Belanda tahun 1936), Gereja HKBP (dibangun Zendeling RMG), Gereja Katolik (pertama di Tanah Batak), Makam Sisingamangaraja XII, patung DI Panjaitan,  dan Museum TB Silalahi (terbaru).
Revitalisasi industri tenun Balige sebaiknya menyasar sejumlah kecil perusahaan tenun yang masih bertahan. Para  pengusaha itu adalah perawat setia ikon sosial-ekonomi terpenting Balige. Mereka pantas diapresiasi dengan mengintegrasikan kain tenun Balige ke dalam program pengembangan wisata pusaka kota.
Ada empat bidang revitalisasi tenun Balige yang diusulkan di sini. Pertama, peningkatan mutu tenunan, khususnya mutu benang dan pewarna, dan inovasi motif-motif baru, untuk memenuhi standar pasar wisata.Â
Kedua, hilirisasi berupa inovasi produk turunan berbahan baku tenunan sarung/sela. Misalnya pakaian kasual, celana pendek, tas, dompet, topi, taplak meja, sarung bantal, sprei, dan bed cover.
Ketiga, diversifikasi produk tenunan. Tidak hanya sarung dan sela, tapi juga ulos. Beberapa pengusaha tenun sebenarnya sudah memproduksi ulos tenun ATBM. Tapi perlu peningkatan kualitas agar mendekati mutu ulos hasil tenun gedogan.Â
Keempat, promosi dan penjualan langsung tenun Balige di pasar wisata. Pengembangan KTA Balige akan merenovasi onan balairung. Sebaiknya satu balairung dikhususkan untuk promosi dan penjualan langsung kain tenun Balige sebagai souvenir wisata. Â
Revitalisasi industri tenun Balige itu tentu harus dilaksanakan dalam bingkai visi pengembangan DSP Toba, Marsipature Hutana Be, gotong-royong membangun kampung halaman. Pemerintah Toba dan pengusaha asal KDT, dengan fasilitasi Kementerian Parekraf dan BPODT, mesti tampil di depan sebagai pelaksana.Â
Sungguh, kota Balige tanpa sarung tenunnya bukanlah Balige sejati. Kain sarung tenun adalah ikon terpenting, pencitra terkuat untuk kota itu.
Begitu pula, wisatawan belum sah mengunjungi Balige, jika dia tak membawa pulang barang satu dua potong kain sarung tenun Balige. (eFTe)
Rujukan:
[1] Â Felix Tani, "Porsea, Saksi Modernisasi tanpa Pembangunan di Tanah Batak", Kompasiana, 11 Juni 2019 Â
[2] Felix Tani, Â "Balige, Kota yang Menyarungi Orang Batak", Â Kompasiana, 25 Maret 2019
[3] Felix Tani, "Siborongborong, Daging Kuda dan Sayur Kol", Kompasiana, 9 Februari 2019
[4] Felix Tani, "Tarutung, Kota yang Tumbuh dari Sepohon Durian", Kompasiana, Â 9 Desember 2019
[5] Felix Tani, "Mengenal 'Negeri Matahari Terbit' di Tanah Batak", Kompasiana, 6 Â November 2018
[6] Felix Tani, "Samosir, 1 Pulau 2 Batak", Kompasiana, 4 April 2020.
[7] MTF Sitorus, "Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal: Kasus Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba", Analisis CSIS Vol. 29 No. 2 (2000).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H