Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mandar Balige, Ikon yang Dilupakan dalam Wisata Danau Toba

26 September 2021   18:30 Diperbarui: 26 September 2021   18:42 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Balige dengan tetenger Onan Balairung (Foto:@wavanwilan via teavelingmedan.com

Karena itu revitalisasi industri mandar, sarung Balige menjadi sangat penting. Mandar akan menjadi penciri khas, sekaligus daya tarik wisata sejarah dan belanja di KTA Balige.

Sejarah Sosial Balige

Balige kini ibukota Kabupaten Toba. Posisinya 235 km di selatan Medan, 60 km di selatan Parapat, dan 25 km di utara Siborongborong. Letaknya di kaki Gunung Doloktolong, tepi pantai selatan Danau Toba.

Menurut sejarah lokal, Balige adalah satu dari tiga bius, federasi kampung, utama Batak yang terbentuk  sekitar abad ke-11 sampai 13.  Nama aslinya bius Baligeraja, dipimpin Dinasti Sorimangaraja. Dua bius lainnya adalah Sianjurmula-mula (Pusukbuhit, Dinasti Jonggimanaor, dan bius Urat (Samosir Selatan, Dinasti Paltiraja. [6]

Saat Perang Batak (1878-1907) pecah, bius Baligeraja tampil  sebagai pendukung Sisingamangaraja XII yang paling setia. Balige menjadi  ajang pertempuran paling sengit antara tentara Belanda dan tentara Batak.

Setelah Perang Batak usai (1907)  Belanda menjadikan Balige ibukota Onderafdeling Toba, Bataklanden.  Berada di jantung Tanah Batak, Belanda menilai Balige sangat strategis secara politik dan ekonomi untuk mendukung kekuasaannya.  

Belanda mengembangkan Balige sebagai kota pelabuhan, niaga, dan industri. Isolasi geografisnya dibuka. Jalan penghubung Balige ke Parapat sampai Medan di utara dan ke Tarutung sampai Sibolga dibuka tahun 1917-1920. Sehingga arus arus manusia, barang, pengetahuan, dan teknologi dari dan ke Balige menjadi lancar dan efisien.

Lalu pada awal 1930-an,  bertepatan masa Depresi Besar, Belanda mengembangkan industri tenun di Balige. Tujuannya antisipasi dampak Depresi Besar pada ekonomi rakyat setempat dan Sumatera Timur.

Produk utama industri tenun Balige waktu itu terutama adalah mandar, sarung katun. Lainnya kain sela, bahan utuk taplak dan tirai. Semua itu menjadi produk  substitusi tekstil impor yang terkendala oleh Depresi Besar. Produk tenun katun Balige berhasil memenuhi permintaan tekstil murah  di Sumatera Timur dan, tentu saja, di Afdeling Bataklanden.

Industri tenun Balige berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi Tanah Batak. Selain menyediakan tekstil murah, dia juga menyerap tenaga kerja dan menciptakan peluang usaha dan kerja pemasaran tekstil. Hal itu dapat mencegah gejolak politik, semisal protes petani dan buruh perkebunan.

Jadi, secara geo-ekonomi politik, pengembangan industri tenun Balige relatif berhasil menjaga stabilitas politik Tanah Batak dan bahkan Sumatera Timur. Hal itu benar semasa penjajahan Belanda sampai masa kemerdekaan, sekurangnya sampai paruh pertama 1980-an.  

Seorang pengusaha tenun Balige sedang memamerkan mandar atau sarung (Foto: tobaria.com)
Seorang pengusaha tenun Balige sedang memamerkan mandar atau sarung (Foto: tobaria.com)

Balige Kota Sarung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun