"Reaksi pengenyahan atau cancel culture terhadap Saipul Jamil adalah sanksi sosial untuk pemulihan dan penegakan moralitas di ruang publik" -Felix Tani
Seandainya tidak ada "pesta selamat datang" (welcome party) untuk Saipul Jamil selepas dari penjara. Â Ya, seandainya tidak ada kalungan bunga. Â Tidak ada tunggangan sedan merah kap terbuka. Â Tidak ada liputan stasiun televisi swasta. Â Tidak ada ekspose kontrak eksklusif siaran televisi. Â Maka sangat mungkin tidak ada "reaksi pengenyahan" (cancel culture) dari publik.
Seandainya Saipul bersikap "tahu diri", Â lalu diam menata diri seperti Nazril Irham, maka perlahan-lahan dia pasti bisa "diterima" kembali di ruang publik. Â "Diterima", dalam tanda petik. Â Sebab publik telah melekatkan stigma "amoral" padanya. Â Karena kejahatannya dulu mencabuli seorang anak lelaki di bawah umur.
Untuk kejahatannya itu, Saipul telah menjalani hukuman "setimpal", 5 tahun penjara. Dikurang masa tahanan dan remisi, maka per 2 September 2021 dia bebas dari penjara untuk kasus pencabulan itu. Â Tambahan 3 tahun penjara karena dakwaan penyuapan terhadap panitera pengadilan, masih menunggu putusan PK dari MA.
Tapi 5 tahun di dalam penjara agaknya tak cukup bagi Saipul untuk pengayaan moralnya. Pada hari pertama dia keluar dari LP Cipinang, dia langsung mempertontonkan "kemiskinan moral". Â Sehingga mengundang "kekangan moral berupa "reaksi pengenyahan" dari publik.
Kemiskinan Moral: Â Defisit Empati Sosial dan Kekang Moral Individual
Pada saat Saipul berkalung karangan bunga, lalu berdiri merentangkan tangan di atas sedan merah, pada saat itulah dia mempertontonkan gejala defisit empati sosial. Â
Bisa dipastikan dia tak memikirkan sama sekali perasaan korban pencabulannya. Â Tak memikirkan perasaan keluarga korban. Â Dan tak memikirkan "perasaan publik" atas kejahatannya di masa lalu.
Dia tak berpikir bahwa korban dan keluarganya, dengan trauma yang mungkin masih tersisa, bisa saja merasa terlecehkan lagi karena laku arogansinya.
Dia juga tak berpikir bahwa, dengan arogansinya itu, publik merasa dilecehkan juga. Sebab publik memiliki memori kolektif tentang pencabulan yang dilakukannya. Publik juga memiliki ekspektasi "pertobatan" pada dirinya, sekurangnya dalam wujud perilaku "tahu diri". Menahan diri dari perayaan dan euforia.
Laku Saipul itu dapat disebut gejala defisit empati sosial. Dan itu adalah indikasi pertama kemiskinan moral sosial pada diri seseorang. Â