"Kenapa hampir semua penumpang bus ini laki-laki, Amanguda?" Â tanya Poltak sedikit heran.
"Oh, mereka itu panombang," Â jawab Parandum singkat. Â
Poltak tak perlu penjelasan lagi.  Lelaki dewasa di Panatapan sudah kerap memperbicangkan kegiatan manombang, membuka lahan sawah baru di kawasan  hutan Aek Kanopan, sebelah selatan Asahan.Â
Cukup banyak lelaki Batak Toba yang menjadi panombang. Kalau sudah berhasil membuka sawah di rantau timur, dan panennya lumayan bagus, barulah keluarganya dibawa serta.
Perjalanan ke arah timur, selepas Siantar, menjadi pengalaman baru untuk Poltak. Â Untuk pertama kalinya dia menyaksikan langsung perkebunan rambung, karet, di sisi kiri dan kanan jalan raya. Â Luas seakan tak ada habisnya.
"Kenapa pohon-pohon rambung itu condong ke utara, Amanguda?"
"Bah. Tak tahulah aku itu. Kau tanya gurumu saja nanti," jawab Parandum.Â
Sungguh, dia tak tahu jawabannya. Â Berulang kali lewat jalan raya Siantar-Kisaran, baru kali ini pula dia sadar soal itu. "Untunglah aku bukan guru Si Poltak," bisiknya dalam hati. "Bisa kena darah tinggi."
"Jangan lihat ke luar terus. Nanti kau pusing, mabuk!" Parandum mengingatkan Poltak.
Tapi sudah terlambat. Â Kepala Poltak sudah pusing, mata berkunang-kunang. Â Perut mual, isinya naik ke kerongkongan, lalu, "Hueek." Poltak menyemburkan muntahan ke luar lewat jendela bus. Â Parandum mengangsurkan obat dari segala penyakit: minyak angin.
Hari sudah menjelang sore saat bus "Permos" tiba di kota Kisaran.  Dari Kisaran, bus itu masih akan melanjutkan perjalanan ke Tanjungbalai. Kemudian, ke Aek Kanopan mengantar para panombang.Â