Tahu kan bus AKAP, Antar Kota Antar Propinsi? Ya, tahu!Â
Kalau puisi AKAP? Antar Kota Antar Propinsi, atau bahkan Antar Kota Antar Pulau? Apa pula itu.Â
Emang ada gitu puisi AKAP?
Ada. Itu puisi hasil kolaborasi antar Kompasianer yang tinggal di kota bahkan propinsi atau pulau yang berbeda.Â
Berkah e-komunikasi telah memungkinkan hal itu terjadi secara cepat dan tepat. Tinggal main di WA atau WAG. Â Chat chet chit, beres.
Contohnya, untuk kasus duaan, sudah ada di Kompasiana. Misalnya antara Ayu Diahastuti (Jateng) Â dan Ari Budiyanti (Jabar), Â disingkat "Ayuri". Atau antara Ayu Diahastuti (Jateng) dan Wuri Handoko (Sulut), disingkat "Ayuri" juga. Â
Tapi kalau kolaborasi puisi AKAP melibatkan delapan orang, apa bisa? Mengapa tidak? Delapan orang Kompasianer telah membuktikannya.
Hasilnya, puisi "Anarki Cinta dalam Empat Babak" sudah tayang tadi pagi (Minggu, 22/08/2021) di Kompasiana. Silahkan baca, kalau sudi.
Kolaborasi penganggitan puisi AKAP itu dilakukan delapan orang Kompasianer secara spontan. Lewat percakapan kenthir di grup perpesanan tadi malam sebelum tidur (21/08/2021). Â
Mereka yang terlibat  adalah Felix Tani, Indra Rahadian, Zaldy Chan, Heni Pristiwaningsih, Ayu Diahastuti, Ayah Tuah, Siti Nazarotin, dan Katedrarajawen. Â
Selain Felix Tani dan Siti Nazarotin, enam orang lainnya adalah buaya puisi. Siti Nazarotin tahunya cuma masak-masakan, sedangkan Felix Tani bisanya cuma makan-makan.
Begini proses kreatifnya tadi malam.Â
Di tengah keriuhan perbincangan remeh-temeh tapi perlu, tiba-tiba Felix Tani membagikan sebait puisi di bawah judul "Puisi Malam Ini".
"Tadi siang langit biru, bulan putih. Malam ini bulan biru, langit hitam. Sebiru matamu, sehitam rambutmu."
Felix mengundang rekan-rekan segrup perpesanan melanjutkan bait kedua dan seterusnya. Tanpa ekspektasi apapun. Sebab anggota grup semua kenthir. Sulit diatur dan susah ditebak maunya. Serba intuitif dan serendip.
Eh, tetiba Indra Rahadian menyambung dengan indahnya:
"Melewatkan jingga senja. Penuh nestapa. Bintang-bintang berkelana. Seperti hadirmu, menerangiku dan pergi begitu saja."
Super sekali. Langsung disambar pula oleh Zaldy Chan dengan membagikan satu bait sendu.
"Pada sajian segelas kopi, Â rasa manis acapkali mengalah teredam rasa pahit.
Senja masih menyisakan senyuman manis. Hingga, kau biarkan aku tenggelam dalam rasa sakit."
Super dua kali. Tiga lelaki beruntun memimpin. Langsung dikudeta srikandi Heni Pristiwaningsih. Â
"Kau tahu bahwa sakit yang terpendam bukan hanya sekedar ungkapan rasa yang terabaikan. Namun lihatlah, tatkala rembulan itu menyingkap tirai malam yang dingin. Akupun mendekap kesunyian yang tersenyum bengis."
Super tiga kali. Ayu Diahastuti tak mau memberi ruang suksesi kepada lelaki. Langsung disambungnya dengan sebuah bait rindu, renjana.
"Mendulang cinta dalam sekepal rasa dari manisnya rindu, matang terbakar renjana yang kau sisihkan kala senja yang tinggal secuil itu."
Sebelum perempuan melanjutkan hegemoni, Ayah Tuah langsung melontarkan peluru anti-rindu.
"Jadi lupakan rindu, bila jarak hanya sebagai pengganggu. Hujan, panas, hanya peralihan waktu. Masih perlukah kata ragu."
Kekuasan beralih ke lelaki. Katedrarajawen, "King of Omong Kosong" memenangi suksesi dengan sebait harapan.
"Dalam kegelapan hidupku, kurasakan terang cintamu
Dalam bekunya hatiku, kurasakan hangatnya pelukanmu
Dalam linangan air mata, engkau berkata, aku ada di sini setia  bersamamu."
Tapi kolaborasi kenthir belum berujung rupanya. Tengah malam, saat semua orang sudah terlelap, Siti Nazarotim mengendap-endap menyelipkan bait kesetiaan cinta.
"Kesetiaan, cinta dan kasih sayang
Adalah dambaan semua insan.
Begitupun aku, takkan menolak jika menghampiriku.
Takkan menyerah jika harus berjuang meski berujung pilu."
Betul-betul diselipkan. Diantara bait anggitan Ayah Tuah dan bait Katedrarajawen. Persis seperti siswa yang telat kumpul tugas, lalu menyelipkannya pada tumpukan tugas siswa di atas meja guru. Â
"Dalam kegelapan hidupku, kurasakan terang cintamu
Dalam bekunya hatiku, kurasakan hangatnya pelukanmu
Dalam linangan air mata, engkau berkata, aku ada di sini setia  bersamamu."
Lantas, mau diapakan bait-bait puisi spontan yang anarkis itu,
Ya, diterbitkan di Kompasianalah. Sayang, bait-bait spontan yang indah itu jika dibiarkan hilang begitu saja.
Tanggungjawab ada di bahu Felix Tani. Dia yang memulai, dia pula yang mesti mengakhiri.
Saat azan pagi berkumandang di Gang Sapi Jakarta, Felix Tani bangun dan mulai menyunting dan menyelaraskan puisi anarkis itu.
Bukan pekerjaan mudah. Seperti dikatakan tadi, Felix Tani itu bukan jago puisi, tapi jago makan.
Untunglah Felix Tani itu kenthir level puncak. Intuisinya memercikkan serendipitas di subuh yang dingin. Â
Tiba-tiba saja muncul judul "Cinta Anarkis dalam Empat Babak". Lalu dibaginya delapan bait itu ke dalam empat babak.
Tiap babak mewakili anarkisme cinta yang tanpa terduga bisa bikin apa saja. Kehilangan (1), kesakitan (2), kerinduan (3), dan harapan (4). Itu maunya cinta, tak bisa diatur, tak bisa diduga.
Mereka yang terlambat
Pagi buta, setelah menayangkan puisi itu di Kompasiana, Felix Tani masuk ke grup perpesanan. Kaget setengah mati karena ternyata Swarna menambahkan satu bait peyimpul.
"Pagi ini telah kita tuntaskan semua ragu
Dalam rindu tanpa kelambu."
Sayang seribu kali sayang. Puisi anarkis para kenthiris tak bisa menerima bait kepagian. Yang biasa diterima adalah bait kemalaman.
Ada yang lebih parah telatnya. Wuri Handoko. Menyesal tak ikut sumbang bait, padahal belum punya baitnya. Khas arkeolog, dia kelamaan menggali fossil kata-kata.
Puisi kolaborasi, hasil perbincangan anarkis delapan Kompasianer kenthir, itu adalah semangat (spirit) sejati Kompasiana. Semangat, jiwa, kebersamaan dan sinergi yang kini terasa memudar di Kompasiana.Â
Akhir-akhir ini, "Rumah Kita Bersama" ini terasa semakin individualistik. Semoga saya keliru. (eFTe).
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H