Ya, diterbitkan di Kompasianalah. Sayang, bait-bait spontan yang indah itu jika dibiarkan hilang begitu saja.
Tanggungjawab ada di bahu Felix Tani. Dia yang memulai, dia pula yang mesti mengakhiri.
Saat azan pagi berkumandang di Gang Sapi Jakarta, Felix Tani bangun dan mulai menyunting dan menyelaraskan puisi anarkis itu.
Bukan pekerjaan mudah. Seperti dikatakan tadi, Felix Tani itu bukan jago puisi, tapi jago makan.
Untunglah Felix Tani itu kenthir level puncak. Intuisinya memercikkan serendipitas di subuh yang dingin. Â
Tiba-tiba saja muncul judul "Cinta Anarkis dalam Empat Babak". Lalu dibaginya delapan bait itu ke dalam empat babak.
Tiap babak mewakili anarkisme cinta yang tanpa terduga bisa bikin apa saja. Kehilangan (1), kesakitan (2), kerinduan (3), dan harapan (4). Itu maunya cinta, tak bisa diatur, tak bisa diduga.
Mereka yang terlambat
Pagi buta, setelah menayangkan puisi itu di Kompasiana, Felix Tani masuk ke grup perpesanan. Kaget setengah mati karena ternyata Swarna menambahkan satu bait peyimpul.
"Pagi ini telah kita tuntaskan semua ragu
Dalam rindu tanpa kelambu."
Sayang seribu kali sayang. Puisi anarkis para kenthiris tak bisa menerima bait kepagian. Yang biasa diterima adalah bait kemalaman.