Poltak diam duduk di tempat. Berdoa dalam hati. Dia yakin, sangat yakin, neneknya akan datang menolongnya.
"Amang, pahompuku. Â Ikut ompung. Â Kita pulang sekarang." Â Tiba-tiba saja nenek Poltak sudah berdiri di hadapannya. Â Tanpa bicara lagi, neneknya mengangkat ikatan kayu bakar, menyungginya, lalu berjalan menyusuri jalan tikus yang tadi tak terlihat oleh Poltak.
"Ompung!" Â Poltak berteriak gembira. Â Hendak memeluk neneknya. Â Tapi neneknya sudah balik badan dan langsung berjalan pulang. Â Diam seribu bahasa. Â "Ompung marah," batin Poltak. Dia memutuskan untuk diam saja mengekor neneknya.
Langit di barat sudah lembayung saat Poltak dan neneknya tiba di mulut jalan masuk ke Panatapan. Â Matahari sebentar lagi akan terbenam sempurna.
"Amang, kau pulang duluan, ya. Â Bawa ini kayu bakar. Â Ompung mau ke makam ompungdolimu sebentar." Â Nenek Poltak meletakkan ikatan kayu bakar di atas kepala Poltak. Â Lalu ompungborunya berjalan mendaki lereng bukit ke arah makam kakek Poltak berada.
"Olo, ompung." Â Poltak mengiyakan. Â Lalu berjalan menyunggi kayu bakar menuju Panatapan, sekitar limaratus meter jauhnya dari mulut jalan masuk.
"Poltak, pahompuku! Â Mauliate Tuhan! Â Pahompuku selamat sampai di rumah." Â Nenek Poltak menyambut cucunya itu di depan rumah. Â Memeluknya erat, menumpahkan airmata syukur dan sukacita.
"Ompung, cepat kali sampai di rumah." Â Poltak kebingungan. Â Sebab jarak dari kuburan kakeknya ke rumah lebih jauh dibanding jarak dari mulut jalan masuk kampung. Â
"Ompung dari tadi menunggumu di rumah, amang. Â Ayo, masuk ke rumah, sudah senja." Â Nenek Poltak merengkuh bahu cucu kesayangannya lalu menuntunnya naik ke dalam rumah. (Bersambung)
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H