Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #065] Kejarlah Onde Kau Juara

7 Juli 2021   11:27 Diperbarui: 7 Juli 2021   19:05 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa, 17 Agustus 1971 di Lapangan Pagoda Parapat, tepian Danau Toba.  Murid-murid, guru-guru, dan aparat pemerintah sekecamatan Parapat berkumpul merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-26 Republik Indonesia.  

Dari SD Hutabolon, hadir murid-murid kelas empat, lima, dan enam didampingi guru masing-masing.  Guru Paruhum tampil sebagai penanggungjawab.  Guru Harbangan, guru kelas lima dan Guru Ambolas, guru kelas enam menjadi pendamping.

Lapangan Pagoda itu terhampar di sebuah lembah, pangkal sebuah semenanjung kecil bernama Siburak-burak.  Sisi selatan lapangan itu berbatasan dengan bibir pantai Danau Toba.  Sekitar duaratus meter ke utara, di ujung semenanjung, berdiri rumah tempat pengasingan Bung Karno dulu.

Memandang dari bibir pantai itu ke selatan, di sebelah kiri terlihat pekan Tigaraja dan, jauh ke selatan, semenanjung Horsik. Di sebelah kanan, jauh di seberang danau,  di Pulau Samosir, terlihat kampung Tomok dan Tuktuk .  Di belakang kampung itu, terbentanglah lereng memanjanglaksana dinding raksasa.  

Pada dinding alami itu terbaca tulisan RIMBA CIPTAAN.  Tulisan yang terbentuk dari tegakan pepohonan  pinus yang ditanam membentuk huruf-huruf.

Bukan upacara peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang paling ditunggu murid-murid sekolah. Upacara resmi itu diikuti murid-murid sepenuhnya di bawah komando.  Tidak ada improvisasi.

Acara berikutnyalah yang paling dinanti: aneka perlombaan 17 Agustus.  Itu acara unjuk gigi untuk setiap sekolah.  Ada lomba martumba, gerak dan lagu. Ada pula balap karung, lempar lingkaran, dan tarik tambang.  Lalu lomba lari seratus meter, lomba yang paling bergengsi.

"Binsar!  Kau siap, ya!  Buktikan kau jago!"  Guru Paruhum menepuk-nepuk punggung Binsar.

Guru Paruhum terobsesi memenangi lomba lari seratus meter.  Sepanjang sejarah kesertaan SD Hutabolon dalam lomba itu, belum pernah sekalipun menjadi juara.  Tidak juga sekadar juara ketiga.  Hari ini, tahun ini, Binsarlah harapannya.

Binsar sudah membuktikan dirinyalah yang paling pantas mewakili SD Hutabolon dalam perlombaan lari seratus meter. Itu sudah dipastikannya pada saat seleksi dengan pesaingnya, Janter dan Marisi.

"Binsar! Balaap!"  Poltak berteriak sejadinya saat melihat gelagat Janter dan Marisi hendak menggunting jalur lari Binsar. 

Poltak berjingkrak-jingkrak melambaikan kedua tangannya memberi semangat di belakang garis finish.  Onde ketawa di mulutnya belum tuntas terkunyah.  Onde ketawa di tangan kiri masih utuh.

Ajaib.  Entah mendapat tenaga dari mana, seperti mode turbo, tiba-tiba saja Poltak melesat secepat kilat, lepas dari guntingan Janter dan Marisi.  Sial, fatal, bagi Janter dan Marisi.  Tak sempat mengubah arah, keduanya bertabrakan, lalu masing-masing terlempar jatuh ke arah berlawanan.  Kepala mereka beradu keras, terdengar seperti suara dua butir kelapa beradu di udara.

Binsar tampil sebagai pemenang seleksi.  Poltak senang bukan kepalang.  Dia mengangsurkan tangan kirinya hendak memberikan sebutir onde ketawa untuk Binsar.  "Bah, hilang!" teriaknya, tak menemukan lagi onde di genggamannya. 

Entah bagaimana caranya, karena Poltak tak sadar, onde itu rupanya telah disambar Binsar pada sisa larinya. Sambil tertawa, Binsar lari mengunyak kue onde ketawa di mulutnya.

Alun-alun Kota Parapat atau Lapangan Pagoda Tahun 1971. © Island SAMOSIR & Lake TOBA – FotoBook/via semedan.com
Alun-alun Kota Parapat atau Lapangan Pagoda Tahun 1971. © Island SAMOSIR & Lake TOBA – FotoBook/via semedan.com
Hari itu di lapangan Pagoda, Parapat, di arena lomba lari, Binsar tampil dengan rasa percaya diri tinggi. Di sampingnya Poltak setia hadir memberi semangat.

"Anggap mereka semua burung puyuh yang harus kau taklukkan," Poltak menyemangati Binsar, sambil menemaninya berjalan menuju garis start. "Tak ada puyuh yang selamat dari tangkapanmu," lanjut Poltak.  

"Poltak! Jangan kau ganggu Binsar!" Guru Paruhum mengingatkan.

"Olo, Gurunami.  Aku menyemangati, Gurunami," balas Poltak.

Di garis start, di belakang Binsar, Poltak mengeluarkan kantong plastik berisi tiga butir kue onde ketawa dari saku celananya. Mengambil sebutir dan menggerogotnya dengan nikmat. 

Panitia lomba mulai memperkenalkan satu per satu peserta lomba.  Semuanya sepuluh orang dari sepuluh SD di Kecamatan Parapat.

"Nomor dua!  Sirlam! Dari SD Pardomuan!  Juara tahun lalu!"  Terdengar suara panitia memperkenalkan Sirlam, juara tahun lalu.  Sirlam, artinya kilat.  

Poltak melangkah mendekati Sirlam. Berdiri tepat di belakangnya, sambil memelototi bokong anak itu.  

"Oi, siapa kamu!  Kenapa kau pelototi pantat Sirlam!" Seorang laki-laki paruh baya, berkumis tebal, menegur Poltak.

"Oh, tidak apa-apa.  Pantat Sirlam montok kalipun," jawab Poltak sambil beranjak kembali ke belakang Binsar.  Sepintas diliriknya Sirlam.  Anak itu sedang meliriknya juga dengan tatap mata gusar.  Konsentrasinya rusak. 

"Bagus, habislah kau," gumam Poltak, ketawa dalam hati.  Sebenarnya pantat Sirlam itu rada tepos.

"Nomor tujuh! Binsar! Dari SD Hutabolon!"  Binsar diabsen.

"Binsar! Binsar! Binsar!"  Murid-murid SD Hutabolon, kelas empat sampai enam, kompak meneriakkan yel-yel penyemangat Binsar. Janter dan Marisi tampil sebagai dirigen ganda.

"Binsar! Aku tunggu kau di garis finis sana, ya!  Libas semua puyuh itu!"  Sambil mengunyah onde ketawa, Poltak berlari menuju garis finish.  Menunggu Binsar di sana.  

"Binsar pasti  menang." Poltak meyakinkan diri.  Sambil tetap mengunyah onde ketawa. 

Poltak yakin karena dalam seminggu terakhir Binsar sudah latihan keras. Selain latihan teknik bersama Guru Paruhum di sekolah, dia juga latihan fisik di Panatapan.  Tiap sore lari mendaki Bukit Partalinsiran sebanyak tiga kali.

Poltak mengangkat tinggi-tinggi kantong berisi onde ketawa  di tangan kirinya. Diputar-putarnya di udara.  Dia sedang memberitahu posisinya kepada Binsar.

"Semua peserta! Siap di posisi start masing-masing!" Panitia perlombaan mengarahkan peserta.

Sepuluh anak bersiap di titik start masing-masing.  Tidak seorangpun mengenakan pakaian olahraga lari. Semua pakai celana katun harian dan hem katun. Tanpa sepatu. Kaki ayam, alami.

Juri pemberangkatan mengangkat jempol ke arah para juri waktu di garis finish, di ujung barat lintasan lari. Para juri waktu membalas angkat jempol. Perlombaan siap dimulai.

"Bersedia!" Juri meneriakkan aba-aba pertama. Sepuluh pelari serentak mengambil posisi jongkok pada satu kaki.

"Siap!" Para pelari serentak mengangkat badan, mengambil posisi siap lari. Konsentrasi penuh pada aba-aba terakhir.

"Ya!"

Sepuluh anak melesat dari titik start, seperti gelatik-gelatik terbang mendadak dari rumpun padi karena dikageti. Sampai duapuluh lima meter lintasan, para pelari masih relatif sejajar.  Imbang.  Pendukung masing-masing pelari bersorak-sorai memberi dukungan.

"Sirlam! Sirlam! Sirlam!"

"Binsar! Binsar! Binsar!"

"Tumpak! Tumpak!  Tumpak!"

Setelah limapuluh meter lintasan, tampak tiga pelari unggul di depan.  Sirlam dari SD Pardomuan, Binsar dari SD Hutabolon, dan Tumpak, dari SD Martoba.  Posisi mereka relatif sejajar. 

Sampai tujuhpuluhlima meter lintasan, posisi Sirlam, Binsar, dan Tumpak masih relatif sejajar.  Pendukung mereka, teman sekolah masing-masing, semakin histeris meneriakkan nama-nama mereka.

"Binsaaar!  Libaaas!  Ini kue ketawaaa ...!"  Poltak berteriak-teriak sekeras-kerasnya dari belakang garis finish.  Kue onde ketawa dalam kantong plastik diputar-putarnya di udara.  "Sikat si pantat montoook!" teriaknya lagi.

Mendengar kata "kue ketawa", Binsar tersengat.  Mode turbonya seperti terpencet.  Tubuhnya tiba-tiba melesat secepat kilat ke depan meninggalkan Sirlam dan Tumpak. 

Binsar berkelebat tanpa sadar melewati garis finis.  Lalu, tanpa terduga, melompat terbang menyambar  kantong plastik berisi kue onde ketawa yang terangkat tinggi di tangan kiri Poltak.  

Sebagai penggila kue onde ketawa, tak ada hal lain yang lebih penting bagi Binsar.  Tidak juga garis finish lomba lari seratus meter. Poltak sadar benar kelemahan Binsar itu.  Tapi dia mengubah kelemahan itu menjadi kekuatan.  Dipancing dengan kue onde ketawa, tidak ada lawan lari yang tak bisa dikalahkan Binsar.

"Binsar! Binsar! Binsar!" Murid-murid dan guru-guru SD Hutabolon mengelu-elukan Binsar.  Dia tampil sebagai juara baru, mempecundangi Sirlam, juara tahun lalu yang tahun ini harus puas di posisi ketiga.  

SD Hutabolon untuk pertama kalinya tampil di podium juara lomba lari 17 Agustusan antar SD sekecamatan Parapat.

"Kau!" tiba-tiba seseorang mendorong keras Poltak pada dadanya.  Poltak terjajar ke belakang nyaris jatuh telentang.  

"Kenapa kau!"  Poltak maju dan mendorong dada orang tadi sampai terjajar. Dia adalah Sirlam.  Rupanya dia mempersalahkan Poltak atas kekalahannya.

"Apa kau!"  Tiba-tiba saja Polmer  sudah berdiri di depan Poltak menghadapi Sirlam.  Di depan tubuh bongsor Polmer, tubuh Sirlam ibarat tapir di depan badak. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun