Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Terawan, Vaksin Nusantara, dan Kedaulatan Kesehatan Nasional

1 April 2022   23:09 Diperbarui: 2 April 2022   17:47 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menhan Prabowo Subianto mendapat suntikan booster Vaksin Nusantara dari Dokter Terawan Agus Putranto (Foto: Istimewa via sindonews.com)

"Pewujudan kedaulatan kesehatan nasional membutuhkan kehadiran seorang jenius penyimpang sosial. Mungkin Dokter Terawan Agus Putranto adalah orangnya." -Felix Tani

Kontroversi Dokter Terawan

Inovasi Vaksin Nusantara (VN) disebut-sebut sebagai salah satu alasan pemecatan Dokter Terawan dari IDI. Vaksin individual berbasis sel dendritik itu dikembangkan Dokter Terawan dan timnya sejak 2020 sebagai respon terhadap pandemi Covid-19.

Pengembangan VN tersebut kemudian dihentikan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) padat bulan April 2021. Caranya, BPOM tidak memberi ijin Uji Klinis Tahap 3 untuk calon Vaksin Nusantara (VN) itu. [1] 

Alasan penghentian karena  Tim VN tidak bisa menunjukkan data uji pre-klinis. Tim juga tak melengkapi permintaan  data dan tidak memenuhi syarat-syarat BPOM. Proses uji klinis dinilai tidak sesuai  standar dan datanya berubah-ubah. [2]

Masalah itu sempat memicu pro-kontra nasional.  Di satu pihak sejumlah anggota DPR dan tokoh nasional mendukung VN dan Tim Dokter Terawan.  Di lain pihak, sejumlah tokoh nasional lainnya mendukung BPOM.

Pro-kontra itu kemudian diakhiri dengan sebuah Nota Kesepahaman antara  Menteri Kesehatan, Kepala Staf TNI AD, dan Kepala BPOM (20/4/2021).  Nota Kesepahaman tentang  "Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas terhadap Virus SARS COV-2" itu mengalihkan kegiatan pengujian sel dendritik terkait imunitas terhadap Covid-19 menjadi penelitian berbasis pelayanan.  

Penelitian itu dilaksanakan RSPAD Gatot Subroto di bawah pengawasan Kementerian Kesehatan dan supervisi BPOM. Implikasinya, uji klinis VN berbasis sel dendritik berakhir. 

Selanjutnya, penelitian terkait sel dendritik menjadi penelitian terapan untuk menghasilkan produk peningkat imunitas terhadap Covid-19.

Belakangan, Dokter Terawan menyuntikkan VN kepada sejumlah tokoh masyarakat sebagai "vaksin booster". Menhan Prabowo Subianto tercatat sebagai salah seorang penerima. [3] 

Tindakan pemberian dan promosi VN sebagai vaksin "booster" itulah yang dianggap IDI sebagai bentuk pelanggaran etika kedokteran. Alasannya riset VN belum selesai, sehingga VN belum bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.  

Tapi benarkah VN tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah? Dokter Terawan yakin VN bisa dipertanggung-jawabkan. Hanya saja, pertanggung-jawabannya  keluar dari prosedur positivisme empiris yang menjadi arus utama riset kedokteran/farmasi. 

Dokter Terawan menerapkan pendekatan anarkisme metode yang justru mengritik positivime empiris. Makanya susah mencapai titik temu dengan BPOM dan IDI. [4]

Pendekatan anarkisme metode yang diterapkan Dokter Terawan adalah kritik sekaligus perlawanan terhadap dominasi postivisme empiris ala IDI dan BPOM.  

Lantas, apakah dengan demikian langkah Dokter Terawan itu salah, dan karena itu melanggar etika?

Vaksin Nusantara, Inovasi "Si Gila"

Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebagai sumber wawasan, saya terlebih dulu akan membagikan kisah film One Flew Over the Cuckoo's Nest (1975).

Film pemenang Hadiah Oscar (1976) itu menyajikan konflik tragik antara Randle Patrick McMurphy (Jack Nicholson), seorang pasien "pengidap" sakit jiwa, dan kawan-kawannya sesama pasien  dan Mildred Rached (Louise Fletcher), perawat kepala rumah sakit jiwa (cuckoo's nest) dan tim medisnya.[5]

McMurphy, "pasien" yang sebenarnya hanya pura-pura gila untuk mengindari hukuman penjara, menentang  keras perlakuan tiranik Rached dan timnya kepada para pasien. Menurut dia, penderita sakit jiwa juga manusia yang harus dihargai.

Dia berpendapat pasien sakit jiwa harus didorong untuk menemukan kemampuan dan membangun kepercayaan dirinya untuk menemukan kewarasannya. Mereka harus ditangani dengan pendekatan "pembebasan" yang manusiawi,  agar mampu menjadi dirinya sendiri.  

Rached berpegang teguh pada protokol standar rumah sakit jiwa .  Menurut dia, pasien sakit jiwa harus ditundukkan.  Mereka harus dipaksa, ditindas dengan bahasa kekerasan, untuk menjadi manusia patuh, sesuai disain "manusia waras" yang diyakini Rached.

Pertentangan antara McMurphy dan Fletcher berujung tragis.  Setelah suatu upaya pelarian McMurphy dan kawan-kawan yang gagal, Rached merusak otak McMurphy dengan cara menyetrumnya.  

Barangkali, Dokter Terawan itu semacam "Si Gila" McMurphy yang berupaya mendobrak kekakuan standar kerja biroktaris kedokteran. Seperti halnya McMurphy yang berupaya mendobrak kekakuan protokol standar rumah sakit jiwa yang dinilainya tak memanusiakan pasien sakit jiwa.

Inovasi VN adalah salah satu langkah "gila" Dokter Terawan yang dinilai sedang mendobrak dominasi vaksin Covid-19 konvensional, yaitu vaksin berbasis virus corona yang telah dilemahkan. 

Jelasnya, VN dibangun dari sel dendritik autolog yang diisolasi dari darah putih.  Sel dendritik  itu adalah sel imun yang mengajari sel-sel lain memproduksi antibodi.  

Dalam proses pembuatannya, sel dendritik itu diisolasi dulu dari darah individu subyek -- sehingga vaksin ini bersifat individual. Lalu dipapari dengan atau diperkenalkan pada antigen SARS Cov-2  atau Covid-19.  Dengan begitu sel tersebut punya memori Covid-19

Sel dendritik itu kemudian disuntikkan kembali ke tubuh subyek individu.  Di dalam tubuh sel dendritik  itu akan memicu atau mengajari sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan terhadap Covid-19.  Dengan cara demikian, tubuh menjadi imun terhadap Covid-19.

Ada klaim dari Dokter Terawan dan timnya -- yang masih perlu pembuktian -- bahwa  satu dosis VN dendritik akan  menjadikan tubuh imun terhadap berbagai strain (mutasi) Covid-19 selamanya. VN disebut akan membentuk kekebalan seluler pada sel limfosit T (T-cells). Jika benar demikian, maka hanya diperlukan satu kali suntikan VN untuk selama hidup.  

Klaim keunggulan VN tentu saja masih harus dibuktikan lewat penelitian Tim Dokter Terawan di RSPAD.  Tapi dari informasi sementara, setidaknya bisa ditarik tiga  kesimpulan yang mengisyaratkan VN adalah antitesis vaksin Covid-19 konvensional.

Pertama, VN berbasis sel dendritik milik individu subyek yang diimunkan terhadap Covid-19. Sedangkan vaksin konvensional berbasis virus corona yang telah dilemahkan. Karena itu prosedur riset inovatifnya beda.

Kedua, VN cukup  satu dosis untuk kebal selamanya terhadap semua strain hasil mutasi Covid-19. Sedangkan vaksin konvensional harus berulang kali, untuk mengantisipasi kemunculan strain baru  Covid-19.

Ketiga, harga VN tergolong lebih murah dibanding vaksin konvensional.  Teknologi produksinya sederhana, busa dibuat sendiri, sehingga VN bisa diproduksi massal di dalam negeri.  Tidak seperti vaksin konvensional yang sejauh ini masih impor, atau lisensi, sehingga harganya mahal.

Berdasar perbandingan di atas, bisa disimpulkan VN itu ancaman potensil terhadap industri vaksin konvensional. Jika VN bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, lalu bisa diproduksi secara massal, maka industri vaksin konvensional akan gulung tikar.

Namun proses pengembangan VN kini cenderung dikekang oleh BPOM dan IDI, dengan alasan risetnya belum tuntas, atau prosedur risetnya tidak memenuhi kaidah riset positivisme empiris. 

Tapi apakah suatu inovasi kedokteran, kesehatan, ataupun  farmasi harus mengikuti prosedur riset positivisme empiris secara ketat? 

Saya ingin mengajukan kasus penemuan Viagra sebagai jawaban. Viagra, pil pembangkit kejantanan andalan kaum laki lemah sjahwat itu, ternyata ditemukan secara tak sengaja. Bulan lewat prosedur baku riset positivisme empiris.

Pada tahun 1989 Peter Dunn dan Albert Wood, saintis perusahaan obat Pfizer Inggris, menciptakan sildenafil sitrat (viagra). Obat itu dimaksudkan mengatasi darah tinggi dan nyeri dada (angina) pada penderita sakit jantung koroner.[6]

Namun pada tahap uji klinis, obat itu dinyatakan gagal sebagai obat jantung. Bukannya menurunkan tekanan darah, sebaliknya meningkatkan aliran darah ke organ seksual. Jadinya, efektif menginduksi ereksi.

Dikisahkan, seorang relawan uji klinis tidak mau mengembalikan sampel pil yang masih tersisa.  Usut punya usut, alasannya, pil-pil itu ternyata sukses mengembalikan kejantanannya di ranjang.

Temuan tak sengaja itu lantas membelokkan arah riset sildenafil sitrat. Dari tadinya obat jantung, Pfizer mengembangkannya jadi obat disfungsi ereksi. Tahun 1996 sildenafil sitrat itu dipatenkan Pfizer di AS. Tahun 1978 obat itu, dengan nama viagra, disetujui FDA sebagai obat disfungsi ereksi. 

Menuju Kedaulatan Kesehatan Nasional 

Kisah penemuan Viagra memunculkan tanya. Jika tidak ada raksasa industri farmasi Pfizer di belakang Viagra, apakah mungkin obat jantung koroner yang gagal uji klinis itu bisa menjadi obat disfungsi ereksi?

Pertanyaan sebaliknya bisa dikenakan pada kasus VN. Apakah pengembangan VN oleh Dokter Terawan menjadi terkendala karena tidak ada dukungan industri farmasi yang kuat di belakangnya?  

Konteks pertanyaan itu adalah adanya gejala oligarki kesehatan. Bidang kesehatan di Indonesia kini cenderung dikuasai oleh IDI, BPOM, industri farmasi dan alkes, dan rumah sakit. Oligarki inilah yang menentukan metode terapi, obat, dan alkes apa yang boleh digunakan di Indonesia.

Tidak ada tempat bagi metode, obat, dan alkes yang tak disetujui oligarki kesehatan. Inovasi VN ada di luar lingkaran kesepakatan oligarki itu. Mungkin juga akan ditolak, karena VN berpotensi membangkrutkan industri vaksin konvensional. 

Kecenderungan penolakan pada VN itu sebuah ironi  di tengah upaya pemerintah mewujudkan kedaulatan kesehatan. Baru-baru ini Presiden Jokowi sampai menegur keras Menteri Kesehatan karena impor alkes dan obat-obatan masih meraja. Tidakkah ironis jika VN buatan dalam negeri itu kemudian dihambat?

Jadi, ketimbang "membunuh" Dokter Terawan dengan memecatnya dari IDI, tidakkah lebih bijak jika IDI merangkulnya? Lalu secara organisatoris mendukung pengembangan VN dalam rangka mewujudkan kedaulatan kesehatan nasional. 

Memangnya, seberapa parah gerangan pelanggaran etika kedokteran oleh Dokter Terawan? Apakah harga pelanggaran itu lebih mahal ketimbang nilai inovasi VN dan harapan kedaulatan vaksin nasional? 

Tapi, soalnya tentu jadi beda jika oligarki kesehatan itu anti kedaulatan, lebih mendukung ketergantungan pada impor metode, obat, dan alkes.

Kalau itu maunya, baiklah. Pecatlah Dokter Terawan dari IDI. Lalu usir dia negara lain, agar suatu saat kita bisa mengimpor VN dari luar negeri.(eFTe)

Rujukan:

[1]  "Komisi IX DPR Tuding BPOM Hambat Penelitian Vaksin Nusantara. Kok Bisa?" bisnis.com, 11/03/2021.

[2]  "Panen Dukungan, Ini 5 Alasan BPOM Tolak Vaksin Nusantara", gatra.com, 18/04/2021 .

[3] "Terawan: Vaksin Nusantara Bisa Jadi Booster Atasi Omikron", mediaindonesia.com, 12/01/2022.

[4]  Felix Tani, "Dokter Terawan adalah Kritik terhadap Ikatan Dokter Indonesia", kompasiana, 29/03/2022.

[5]  "One Flew Over the Cuckoo's Nest (film), wikipedia.com

[6] "Penemuan yang Mengubah Dunia: Viagra, Obat Jantung Penawar Disfungsi Ereksi," kompas.com, 06/12/2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun