Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Terawan, Vaksin Nusantara, dan Kedaulatan Kesehatan Nasional

1 April 2022   23:09 Diperbarui: 2 April 2022   17:47 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menhan Prabowo Subianto mendapat suntikan booster Vaksin Nusantara dari Dokter Terawan Agus Putranto (Foto: Istimewa via sindonews.com)

Jelasnya, VN dibangun dari sel dendritik autolog yang diisolasi dari darah putih.  Sel dendritik  itu adalah sel imun yang mengajari sel-sel lain memproduksi antibodi.  

Dalam proses pembuatannya, sel dendritik itu diisolasi dulu dari darah individu subyek -- sehingga vaksin ini bersifat individual. Lalu dipapari dengan atau diperkenalkan pada antigen SARS Cov-2  atau Covid-19.  Dengan begitu sel tersebut punya memori Covid-19

Sel dendritik itu kemudian disuntikkan kembali ke tubuh subyek individu.  Di dalam tubuh sel dendritik  itu akan memicu atau mengajari sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan terhadap Covid-19.  Dengan cara demikian, tubuh menjadi imun terhadap Covid-19.

Ada klaim dari Dokter Terawan dan timnya -- yang masih perlu pembuktian -- bahwa  satu dosis VN dendritik akan  menjadikan tubuh imun terhadap berbagai strain (mutasi) Covid-19 selamanya. VN disebut akan membentuk kekebalan seluler pada sel limfosit T (T-cells). Jika benar demikian, maka hanya diperlukan satu kali suntikan VN untuk selama hidup.  

Klaim keunggulan VN tentu saja masih harus dibuktikan lewat penelitian Tim Dokter Terawan di RSPAD.  Tapi dari informasi sementara, setidaknya bisa ditarik tiga  kesimpulan yang mengisyaratkan VN adalah antitesis vaksin Covid-19 konvensional.

Pertama, VN berbasis sel dendritik milik individu subyek yang diimunkan terhadap Covid-19. Sedangkan vaksin konvensional berbasis virus corona yang telah dilemahkan. Karena itu prosedur riset inovatifnya beda.

Kedua, VN cukup  satu dosis untuk kebal selamanya terhadap semua strain hasil mutasi Covid-19. Sedangkan vaksin konvensional harus berulang kali, untuk mengantisipasi kemunculan strain baru  Covid-19.

Ketiga, harga VN tergolong lebih murah dibanding vaksin konvensional.  Teknologi produksinya sederhana, busa dibuat sendiri, sehingga VN bisa diproduksi massal di dalam negeri.  Tidak seperti vaksin konvensional yang sejauh ini masih impor, atau lisensi, sehingga harganya mahal.

Berdasar perbandingan di atas, bisa disimpulkan VN itu ancaman potensil terhadap industri vaksin konvensional. Jika VN bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, lalu bisa diproduksi secara massal, maka industri vaksin konvensional akan gulung tikar.

Namun proses pengembangan VN kini cenderung dikekang oleh BPOM dan IDI, dengan alasan risetnya belum tuntas, atau prosedur risetnya tidak memenuhi kaidah riset positivisme empiris. 

Tapi apakah suatu inovasi kedokteran, kesehatan, ataupun  farmasi harus mengikuti prosedur riset positivisme empiris secara ketat? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun