Saya ingin mengajukan kasus penemuan Viagra sebagai jawaban. Viagra, pil pembangkit kejantanan andalan kaum laki lemah sjahwat itu, ternyata ditemukan secara tak sengaja. Bulan lewat prosedur baku riset positivisme empiris.
Pada tahun 1989 Peter Dunn dan Albert Wood, saintis perusahaan obat Pfizer Inggris, menciptakan sildenafil sitrat (viagra). Obat itu dimaksudkan mengatasi darah tinggi dan nyeri dada (angina) pada penderita sakit jantung koroner.[6]
Namun pada tahap uji klinis, obat itu dinyatakan gagal sebagai obat jantung. Bukannya menurunkan tekanan darah, sebaliknya meningkatkan aliran darah ke organ seksual. Jadinya, efektif menginduksi ereksi.
Dikisahkan, seorang relawan uji klinis tidak mau mengembalikan sampel pil yang masih tersisa. Â Usut punya usut, alasannya, pil-pil itu ternyata sukses mengembalikan kejantanannya di ranjang.
Temuan tak sengaja itu lantas membelokkan arah riset sildenafil sitrat. Dari tadinya obat jantung, Pfizer mengembangkannya jadi obat disfungsi ereksi. Tahun 1996 sildenafil sitrat itu dipatenkan Pfizer di AS. Tahun 1978 obat itu, dengan nama viagra, disetujui FDA sebagai obat disfungsi ereksi.Â
Menuju Kedaulatan Kesehatan NasionalÂ
Kisah penemuan Viagra memunculkan tanya. Jika tidak ada raksasa industri farmasi Pfizer di belakang Viagra, apakah mungkin obat jantung koroner yang gagal uji klinis itu bisa menjadi obat disfungsi ereksi?
Pertanyaan sebaliknya bisa dikenakan pada kasus VN. Apakah pengembangan VN oleh Dokter Terawan menjadi terkendala karena tidak ada dukungan industri farmasi yang kuat di belakangnya? Â
Konteks pertanyaan itu adalah adanya gejala oligarki kesehatan. Bidang kesehatan di Indonesia kini cenderung dikuasai oleh IDI, BPOM, industri farmasi dan alkes, dan rumah sakit. Oligarki inilah yang menentukan metode terapi, obat, dan alkes apa yang boleh digunakan di Indonesia.
Tidak ada tempat bagi metode, obat, dan alkes yang tak disetujui oligarki kesehatan. Inovasi VN ada di luar lingkaran kesepakatan oligarki itu. Mungkin juga akan ditolak, karena VN berpotensi membangkrutkan industri vaksin konvensional.Â
Kecenderungan penolakan pada VN itu sebuah ironi  di tengah upaya pemerintah mewujudkan kedaulatan kesehatan. Baru-baru ini Presiden Jokowi sampai menegur keras Menteri Kesehatan karena impor alkes dan obat-obatan masih meraja. Tidakkah ironis jika VN buatan dalam negeri itu kemudian dihambat?
Jadi, ketimbang "membunuh" Dokter Terawan dengan memecatnya dari IDI, tidakkah lebih bijak jika IDI merangkulnya? Lalu secara organisatoris mendukung pengembangan VN dalam rangka mewujudkan kedaulatan kesehatan nasional.Â