Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #060] Somba Marhula-hula Elek Marboru

18 Juni 2021   16:41 Diperbarui: 18 Juni 2021   16:59 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

"Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab."  Pelajaran Civic di kelas empat SD Hutabolon. Guru Paruhum sedang membahas Sila Kedua dari Pancasila.  

"Ada di antara kalian yang mengerti maksudnya?"

Murid-murid diam seribu bahasa.  Tentu saja tak seorang pun dari mereka yang mengerti makna kemanusiaan yang adil dan beradab. Mendengarnya pun baru minggu lalu, saat pelajaran pertama Civic.  

Minggu lalu, Guru Paruhum telah menjelaskan makna  sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa.  "Sudah mengerti maksudnya?" tanya Guru Paruhum di akhir penjelasan.  Semua anak diam, tanda tak paham. 

Berharap anak kelas empat SD paham arti Ketuhanan Yang Maha Esa?  Guru Paruhum bagai pungguk merindukan bulan.  Poltak hanya ingat satu kalimat dari uraian Guru Paruhum, "Berdoalah, doa Bapa Kami, setiap pagi." Ketuhanan Yang Maha Esa ada di situ.

"Ingat perkelahian Poltak dan Jonder minggu lalu saat main kasti?"  Murid-murid mengangguk semua. "Itu contoh kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab."

Pikiran Poltak melayang ke peristiwa seminggu yang lalu.  Guru Paruhum, dengan tenaga Samson, mencencang dirinya dan Jonder ke dalam ruangan.  Lalu mengangkat dan mengonggokkan mereka berdua di atas meja guru.

"Kau, Jonder! Tak beradab!  Berta sudah menyerah.  Masih kau bantai juga!"  Jonder diam.  Sambil melap  sisa darah di bawah hidungnya dengan kertas kelat.

"Kau, Poltak! Tak adil! Kau tak berhak menghajar Jonder.  Itu urusan Pak Guru.  Lihat, akibat perbuatanmu.  Hidung Jonder berdarah, gigi serinya goyah!"  Poltak diam. 

"Kau, anak tak beradab," sambil melotot kepada Jonder, "dan kau, anak takadil," sambil melotot kepada Poltak, "mau damai atau terus berkelahi?" 

Guru Paruhum keluar dari ruangan, kembali mewasiti permainan kasti.  Dia biarkan  Poltak dan Jonder mengambil keputusan sendiri.

Berdua di dalam kelas, duduk di atas meja guru, Poltak dan Jonder saling lirik, saling ukur perasaan. Wajah keduanya berangsur berubah dari tegang menjadi tenang. Tiba-tiba Poltak dan Jonder saling tinju lengan sambil tertawa.  Lalu keluar dari kelas sambil berangkulan. Seolah tak terjadi apa pun sebelumnya.

"Perbuatan Poltak takadil. Perbuatan Jonder tak beradab. Jangan diteladan!"  Suara tegas Guru Paruhum mengagetkan Poltak.  Pikirannya kembali dari kelana. 

"Poltak, kau tahu ajaran leluhur Batak tentang Dalihan Na Tolu?"  Sebuah pertanyaan tak terduga dari Guru Paruhum.  

"Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru, Gurunami."  Poltak sangat hafal dengan nilai Dalihan Na Tolu itu.  Almarhum kakeknya, dan neneknya, telah mengajarkan itu kepadanya.

"Betul.  Hormat kepada mertua, juga orangtua.  Sabar kepada saudara laki-laki.  Kasih kepada anak atau saudara perempuan, juga suaminya.  Itulah arti kemanusiaan yang adil dan beradab untuk kita orang Batak." Guru Paruhum berusaha menjelaskan. 

Murid-murid mengerti tentang perintah menghormati mertua, bersabar kepada saudara, dan mengasihi anak atau saudara perempuan. Tapi tetap tak mengerti soal kemanusiaan yang adil dan beradab.  Guru Paruhum menangkap gelagat itu.

"Jonder, Berta.  Kalian berdua kan semarga.  Berta itu saudara perempuanmu, Jonder.  Harusnya kau mengasihinya.  Bukan membantainya pakai bola kasti. Mengerti kau, Jonder?"

"Mengerti, Gurunami."

"Bagus.  Poltak, kau tahu, kan, Jonder itu semarga dengan ibumu.  Berarti Jonder itu laemu, anak lelaki mertuamu. Kau harus menghormatinya. Bukan menendang mukanya sampai berdarah.  Itu sama saja kau menendang muka mertuamu. Mengerti kau, Poltak?"

"Mengerti, Gurunami."

"Ya, kau harus mengerti. Kalau tidak, Berta paribanmu itu, tak akan maulah sama kau nanti."  Ruang kelas empat langsung gempita oleh gelak-tawa dan komentar-komentar menggoda Poltak dan Berta.   Poltak cengar-cengir. Berta membenamkan wajah ke atas meja, .

"Sudah, sudah. Pak Guru bergurau saja."  Guru Paruhum menenangkan kelas.

"Jadi, anak-anakku,"  Guru Paruhum menyimpulkan, "patuhilah perintah leluhur kita.  Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.  Dengan begitu, kalian akan menjadi orang Batak  yang adil dan beradab."

Guru Paruhum tak yakin, dan tak pernah yakin,  murid-muridnya bisa menangkap makna sila kemanusiaan yang adil dan beradab.  Dia hanya berharap semoga anak-anak kecil itu bisa mengerti.

"Gurunami."  Poltak mengacungkan telunjuk, hendak bertanya.

"Apa lagi, Poltak."

"Kalau hula-hula kita jahat, apakah kita harus tetap hormat?"

"Harus, Poltak!" Guru Paruhum menatap mata Poltak, mengukur kesungguhannya bertanya.  "Kalau hula-hulamu berbuat jahat, kau harus mengingatkannya dengan baik-baik. Bukan menendang mukanya.

"Olo, Gurunami."  Poltak tak punya kata-kata lain, kecuali mengamini saja.  

"Tapi tendanganku ke muka Jonder sudah sepantasnya," kata Poltak dalam hati.  "Dia jahat pada Berta."  Menurut Poltak, kata-kata tak akan bisa menyadarkan Jonder.  Tapi sebuah tendangan bisa.

"Poltak!" teriak Jonder saat bubaran sekolah.  "Aku laemu, hula-hulamu! Kalau mau kawin dengan Berta, sembah dulu pantatku!"

"Lae ulok, kau, Jonder!  Kau terima ini.  Ketupat Bangkahulu!"  Poltak mengacungkan tinju sambil mengejar Jonder, lae ulok, ipar bertabiat ular itu. (Bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun