Berdua di dalam kelas, duduk di atas meja guru, Poltak dan Jonder saling lirik, saling ukur perasaan. Wajah keduanya berangsur berubah dari tegang menjadi tenang. Tiba-tiba Poltak dan Jonder saling tinju lengan sambil tertawa. Â Lalu keluar dari kelas sambil berangkulan. Seolah tak terjadi apa pun sebelumnya.
"Perbuatan Poltak takadil. Perbuatan Jonder tak beradab. Jangan diteladan!" Â Suara tegas Guru Paruhum mengagetkan Poltak. Â Pikirannya kembali dari kelana.Â
"Poltak, kau tahu ajaran leluhur Batak tentang Dalihan Na Tolu?" Â Sebuah pertanyaan tak terduga dari Guru Paruhum. Â
"Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru, Gurunami." Â Poltak sangat hafal dengan nilai Dalihan Na Tolu itu. Â Almarhum kakeknya, dan neneknya, telah mengajarkan itu kepadanya.
"Betul. Â Hormat kepada mertua, juga orangtua. Â Sabar kepada saudara laki-laki. Â Kasih kepada anak atau saudara perempuan, juga suaminya. Â Itulah arti kemanusiaan yang adil dan beradab untuk kita orang Batak." Guru Paruhum berusaha menjelaskan.Â
Murid-murid mengerti tentang perintah menghormati mertua, bersabar kepada saudara, dan mengasihi anak atau saudara perempuan. Tapi tetap tak mengerti soal kemanusiaan yang adil dan beradab. Â Guru Paruhum menangkap gelagat itu.
"Jonder, Berta. Â Kalian berdua kan semarga. Â Berta itu saudara perempuanmu, Jonder. Â Harusnya kau mengasihinya. Â Bukan membantainya pakai bola kasti. Mengerti kau, Jonder?"
"Mengerti, Gurunami."
"Bagus. Â Poltak, kau tahu, kan, Jonder itu semarga dengan ibumu. Â Berarti Jonder itu laemu, anak lelaki mertuamu. Kau harus menghormatinya. Bukan menendang mukanya sampai berdarah. Â Itu sama saja kau menendang muka mertuamu. Mengerti kau, Poltak?"
"Mengerti, Gurunami."
"Ya, kau harus mengerti. Kalau tidak, Berta paribanmu itu, tak akan maulah sama kau nanti." Â Ruang kelas empat langsung gempita oleh gelak-tawa dan komentar-komentar menggoda Poltak dan Berta. Â Poltak cengar-cengir. Berta membenamkan wajah ke atas meja, .