"Sudah, sudah. Pak Guru bergurau saja." Â Guru Paruhum menenangkan kelas.
"Jadi, anak-anakku,"  Guru Paruhum menyimpulkan, "patuhilah perintah leluhur kita.  Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.  Dengan begitu, kalian akan menjadi orang Batak  yang adil dan beradab."
Guru Paruhum tak yakin, dan tak pernah yakin, Â murid-muridnya bisa menangkap makna sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Â Dia hanya berharap semoga anak-anak kecil itu bisa mengerti.
"Gurunami." Â Poltak mengacungkan telunjuk, hendak bertanya.
"Apa lagi, Poltak."
"Kalau hula-hula kita jahat, apakah kita harus tetap hormat?"
"Harus, Poltak!" Guru Paruhum menatap mata Poltak, mengukur kesungguhannya bertanya. Â "Kalau hula-hulamu berbuat jahat, kau harus mengingatkannya dengan baik-baik. Bukan menendang mukanya.
"Olo, Gurunami." Â Poltak tak punya kata-kata lain, kecuali mengamini saja. Â
"Tapi tendanganku ke muka Jonder sudah sepantasnya," kata Poltak dalam hati. Â "Dia jahat pada Berta." Â Menurut Poltak, kata-kata tak akan bisa menyadarkan Jonder. Â Tapi sebuah tendangan bisa.
"Poltak!" teriak Jonder saat bubaran sekolah. Â "Aku laemu, hula-hulamu! Kalau mau kawin dengan Berta, sembah dulu pantatku!"
"Lae ulok, kau, Jonder! Â Kau terima ini. Â Ketupat Bangkahulu!" Â Poltak mengacungkan tinju sambil mengejar Jonder, lae ulok, ipar bertabiat ular itu. (Bersambung)