Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #055] Kakek Pulang Ingkar Janji

8 Juni 2021   17:28 Diperbarui: 9 Juni 2021   15:00 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi orangtua, selain didahului darah-dagingnya menghadap Yang Maha Kuasa. Ada perasaan gagal, sekaligus perasaan tak diberi kepercayaan oleh Tuhan, sebagai orangtua.

"Harusnya, aku dulu yang mati, amang.  Bukan kakekmu itu."  Kakek buyut Poltak menggumam. Seolah bicara kepada dirinya sendiri.  Setelah menerima adat manulangi, dia udah siap setiap saat dipanggil Tuhan.

Matahari sore sudah jauh condong ke barat.  Tatapan Poltak masih lekat pada gundukan tanah merah di ujung punggung bukit.  Gundukan itu berundak setingkat.  Di atasnya ditanam  sebatang beringin. 

Itulah makam orangtua yang sarimatua.   Makam kakek Poltak sendiri.  Undakan satu tingkat itu pertanda mendiang sudah bercucu.

Upacara adat pemakaman telah usai sehari yang lalu. Kerabat jauh sudah pulang ke kampung atau kotanya.  Tinggal kerabat dekat, adik-adik kandung kakek Poltak.  Mereka masih  menemani nenek Poltak, menghibur,  dan menguatkan jiwanya.  Tidak mudah menerima kenyataan menjanda di hari tua.

Kenangan indah bersama kakeknya bersiliweran di kepala Poltak.  Belajar naik sepeda, minum teh manis di kedai, menghalau  burung pipit, memanen padi, mengurus kerbau, memerah susu kerbau, memancing ikan di tebat, dan menghadiri pesta adat. Semua itu indah. Tak akan pernah terjadi lagi.

"Ompung,'' bisik Poltak, memanggil kakeknya yang terbaring  di bawah pusara, jauh di sana, di punggung bukit.  Tak sadar, kedua pipinya terasa hangat.  Ada air mata mengalir di situ.

Tak sengaja, Poltak merogoh saku celananya. Jemarinya menyentuh sesuatu berupa kertas.  Poltak menggenggam dan mengeluarkannya dari saku celana.  

"Ah, uang," gumam Poltak.  Di genggamannya bergulung sejumlah lembaran uang pecahan serupiah, seringgit, lima rupiah, dan sepuluh rupiah.

Itu  uang pemberian para kakek-neneknya, serta dari beberapa orang amanguda dan namborunya. Sebagai simbol penghiburan dan penguatan untuk jiwa Poltak.

"Tujupuluh ribu rupiah."  Poltak membatin setelah menghitung jumlah uang pemberian kerabatnya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun