Riset D.H Penny dan M. Ginting (1984) kemudian menunjukkan rata-rata 49% pendapatan rumah tangga di Miri Sriharjo bersumber dari pekarangan. Untuk rumah tangga miskin angka itu bahkan mencapai 72 persen. Sumbernya usaha gula kelapa (49%), ternak (7%), dan usaha pekarangan lainnya (44%). [2]
Pendapatan dari pekarangan rumah tangga desa di Niri Sriharjo besar karena pengusahaan ragam tanaman dan juga ternak di situ. Tergantung luas pekarangan, warga desa bisa menanam rata-rata 36 batang pohon di pekarangan dengan keragaman rata-rata 12 jenis pohon.
Orang desa Jawa umumnya menanam ragam tanaman keras tahunan di pekarangan. Hasilnya bisa diolah atau dijual langsung ke pasar. Misalnya kelapa, mangga, jambu, melinjo, asam, sawo, kluwih, srikaya, sukun, petai cina, blimbing, dan pace.
Selain menanam tanaman keras, orang desa Jawa juga mengusahakan ragam tanaman muda di pekarangan. Ada sayur-sayuran seperti bayam, tomat, labu siam, pare, kecipir, dan terung.Â
Bumbu-bumbuan seperti jahe, kunyit, lengkuas, pandan, sereh, jeruk purut, jeruk limau, cabai, dan tomat. Umbi-umbian seperti keladi, gadung, ubi kayu, dan ubi rambat. Serta buah-buahan seperti pepaya dan pisang.
Nah, bagi orang desa Jawa pekarangan itu sumber bahan makanan setiap saat, bahkan di saat krisis. Ingin makan getuk, tinggal gali ubi kayu. Perlu buah, ambil pepaya atau pisang, juga sawo.Â
Perlu sayur, ada daun singkong, daun pepaya, dan labu siam. Perlu bumbu masak ada kelapa, cabe, laos, jahe, sereh, juga mungkin kemiri. Semua ada di pekarangan, tak perlu beli di pasar.
Bagi orang Jawa di pedesaan, jelas sudah, pekarangan itu katup pengaman dapur. Karena itu usaha pekarangan, sesempit apa pun itu, wajib hukumnya dalam sistem ekonomi rumahtangga.
Permakultur, Menyulap Taman Jadi Pekarangan Alami
Saya hendak mengajak pembaca yang tinggal di kota dan desa-kota menyulap taman menjadi pekarangan alami. Pola pekarangan macam itu di negara-negara maju disebut permakultur, permanent agriculture.