"Memangnya ada hubungan antara taman dan dapur?" Seorang teman bertanya, dalam suatu diskusi di grup perpesanan khusus pertanian.
"Tidak ada, kalau definisi taman menurutmu adalah hamparan tanaman hias yang tumbuh tertata rapih," kataku. "Taman yang saya maksudkan adalah pekarangan menurut pengertian orang Jawa di pedesaan," lanjutku menjelaskan.
Ya, taman di depan, samping, atau belakang rumah tinggal aslinya dipahami oleh orang Indonesia, khususnya Jawa-Bali, sebagai pekarangan.
Konsep taman awalnya diperkenalkan oleh para pengembang property secara kolaboratif dengan para arsitek pertamanan. Lalu populerlah istilah taman untuk rumah-rumah dan gedung-gedung di perkotaan.Â
Semenjak itu pula terjadi pembedaan antara "pekarangan" dan "taman". Pekarangan, lazimnya jembar, untuk rumah desa; taman, lazimnya sempit, untuk rumah kota.
Pekarangan ditanami terutama tanaman buah-buahan, umbi-umbian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan obat-obatan. Sedangkan taman terutama ditanami tanaman hias, bunga-bungaan.
Taman yang hanya dipenuhi tanaman hias tentulah memberi kenyamanan, tapi jelas tak bisa mengamankan dapur. Lain halnya jika ditanami tanaman penghasil makanan dan bumbu, maka taman dapat menjadi katup pengaman bagi dapur.
Saya hendak mengajak pembaca untuk menyulap taman rumah menjadi taman-pekarangan yang nyaman sekaligus pengaman dapur. Tapi sebelum ke situ, saya mau jelaskan sedikit tentang model dasarnya yaitu pekarangan rumah orang Jawa desa.
Pekarangan, Pengaman Dapur Orang Jawa
Bagi orang Jawa di pedesaan, pekarangan itu merupakan katup pengaman dapur dalam dua pengertian.
Pertama, katup pengaman dapur dalam arti sumber pendapatan penting bagi rumah tangga. Masri Singarimbun dan D.H. Penny (1976), dua orang ahli ekonomi pedesaan, mengungkap untuk rumah tangga miskin di Dusun Miri, Desa Sriharjo (pseudonim), Bantul pendapatan pekarangan bisa mencapai dua setengah kali lipat dari pendapatan sawah. Artinya, bagi rumah tangga miskin, mengelola 500 m2 pekarangan sama hasilnya dengan mengusahakan 1,250 m2 sawah.[1]