Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #048] Motor-Motoran Berhadiah Kerrok

23 April 2021   14:01 Diperbarui: 23 April 2021   15:55 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini kena guguran batu kemarin waktu ke Silosung, Gurunami."  Kepada Guru Barita, Poltak menjelaskan asal-usul bebatan kain putih di kepalanya.  

Saat naik merayapi tebing dari Silosung, tak sengaja nenek Poltak yang berada di depan menggugurkan batu sebesar buah kecapi.  Poltak yang berada di belakang  sudah diingatkan. Tapi dia tak sempat menghindar penuh. Tak urung, batu celaka itu menyambar jidatnya, meninggalkan  luka gores seluas kuku jempol tangan orang dewasa.

Pada luka itu, nenek Poltak menempelkan daun muda perdu simarhuting-huting yang telah diiles lembut di telapak tangan.  Lalu dibebat dengan sobekan bagian bawah kaus kutang bapak Poltak.  Praktis dan manjur.  Tak ada yang terlalu sukar di tengah alam bebas.

"Bah, begitu rupanya. Tinggal kau angkat bambu runcing, sudah macam pejuang kemerdekaan kau, Poltak." Guru Barita bergurau.

"Anak-anak, bawa ke depan hasil prakarya motor-motoran kalian.  Semua kelompok, ya."  

Kemarin, sewaktu Poltak bolos sekolah, Guru Barita telah menugaskan murid-murid kelas dua membuat prakarya motor-motoran. Orang Batak Toba menyebut kendaraan bermotor roda empat atau lebih sebagai motor. Jenis motor-motoran prakarya bebas.  Boleh sedan, jip, oplet, bus, truk atau pun motor prah. Bahan pembuatannya boleh apa saja.

Guru Barita telah membagi kelas ke dalam lima kelompok prakarya menurut domisili.  Kelompok Panatapan: Poltak, Binsar, dan Bistok. Kelompok Sorpea:  Jonder, Adian,  Togu, dan Dinar.  Kelompok Binanga:  Alogo, Berta, Gomgom, dan Tiur.  Kelompok Hutabolon: Jojor,  Marolop, dan Nalom. Kelompok Portibi:  Poibe, Polmer, Risma, dan Saur.  Tak perduli perempuan atau laki-laki, setiap kelompok harus membuat motor-motoran.

Kemarin siang, sepulang dari Silosung, Binsar dan Bistok menemui Poltak yang sedang asyik mengambar di halaman rumah neneknya.  Dia mengambar nenek, bapak, dan dirinya sendiri sedang naik merayapi tebing dari Silosung.

"Kita ditugasi bikin prakarya motor-motoran, Poltak. Bagusnya bikin dari bahan apa, ya?"  Binsar meminta pendapat.

"Kalau dari hodong, bagaimana?"  Bistok mengusulkan bahan hodong, batang daun enau.  

"Jangan hodong.  Terlalu biasalah itu," tukas Poltak.  "Kita bikin dari batang sanggar saja." Poltak mengusulkan bahan batang sanggar, pimping, yang banyak tumbuh di padang penggembalaan.

"Begini caranya."  Poltak mulai mengambar rancangan motor-motoran truk bak terbuka di tanah.  Binsar dan Bistok memperhatikan dengan seksama.

Beginilah  rancangan Poltak.  Dua potongan batang sanggar besar dijadikan sasis.  Di atas sasis itu, menggunakan taruget, lidi ijuk enau, ditempelkan lantai motor-motoran terbuat dari batang-batang sanggar yang disatukan seperti rakit.  Lalu di sisi depan dan belakang, kiri dan kanan, dipasang tegak dinding yang terbuat dari batang-batang sanggar yang  sudah disatukan.  Kap mesin dan kabin tempat supir juga dibuat dengan cara serupa. Kaca depan dibuat dari plastik bening.  Roda dibuat dari batang daun enau.  Sedangkan as roda terbuat dari bambu yang diraut sebesar sumpit.

Rencana jenius pantas dijalankan.  Sesorean tiga sekawan Poltak, Binsar, dan Bistok sibuk membangun motor-motoran berbahan sanggar sambil menjaga kerbau di Holbung.  Bukan pekerjaan yang terlalu sukar.  Sebab mereka sudah terbiasa membuat sangkar burung dari bahan sanggar. Prinsip-prinsip pengerjaaannya hampir sama. 

Lima unit prakarya motor-motoran sudah berjejer di meja Guru Barita.  Motor-motoran Kelompok Panatapan beda sendiri: truk bak terbuka dari bahan sanggar.  Kelompok Sorpea dan Kelompok Binanga membuat motor-motoran dari bahan hodong.  Kelompok Hutabolon dan Kelompok Portibi menggunakan balok kaso bekas. 

"Coba, Kelompok Panatapan, jawab pertanyaan Pak Guru."

"Siap, Gurunami."  Poltak siap mewakili kelompoknya.

"Berapa sentimeter panjang, lebar, dan tinggi motor-motoran yang kalian bikin ini."

"Panjang empatpuluh senti. Lebar duapuluh.  Tingginya limabelas senti, Gurunami."

"Mengapa tak dibikin panjangnya duapuluh senti, lebar limabelas, dan tingginya empatpuluh?"

"Kami bikin motor-motoran, Gurunami.  Bukan bikin tugu."

"Tugu ompungmulah, Poltak.  Pandai pula kau menjawab.  Kalau tinggi motor melebihi panjang dan lebarnya, maka mudah terguling.  Begitu penjelasannya." 

Begitulah cara Guru Barita mengajarkan manfaat pelajaran berhitung kepada murid-muridnya.  Langsung dipraktekkan dan diuji dalam vak prakarya. Murid-murid didorong menerapkan ilmu hitung sederhana dalam pembuatan mainan sendiri. Contohnya perbandingan panjang, lebar, dan tinggi mainan motor-motoran.

"Anak-anak, menurut Pak Guru, semua motor-motoran ini bagus.  Tapi ada satu yang paling bagus.  Motor-motoran manakah itu?"

"Motor-motoran sanggar, Gurunami!"  Teriakan aklamasi bergemuruh di kelas dua SD Hutabolon.  Ada satu suara yang melengking tinggi.  Suara siapa lagi kalau bukan Berta. Cuping hidung Poltak mendadak kembang.

"Pak Guru sepakat."  Guru Barita tersenyum puas, kemudian melanjutkan, "Pak Guru sudah kasi ponten semua.  Tiap kelompok ambil lagi motor-motorannya.  Kecuali Kelompok Panatapan, ya."

"Bah, kenapa pula ini," gumam Poltak heran, sambil saling pandang dengan Binsar dan Bistok.

"Gurunami ... ."  Poltak mengacungkan telunjuk, hendak bertanya.

"Diamlah kau, Poltak.  Motor-motoran bikinan kalian bertiga Pak Guru minta.  Untuk mainan anak laki Pak Guru. Nanti, untuk kalian bertiga, Pak Guru berikan hadiah satu kerrok tiap orang."  

Tiga sekawan mendapat hadiah kerrok, peraut pensil berbentuk silinder kecil.  Di bagian belakangnya ada cermin bulat kecil untuk berkaca. Atau untuk mengintip sesuatu yang ada di tempat tersembunyi.   Itu kerrok idaman setiap murid SD Hutabolon.

"Hah!  Binsar! Bistok!  Kita dapat kerrok!" Poltak berteriak mabuk gembira.  Senyum Binsar dan Bistok merekah macam cangkang kerang terbuka. Mereka kini bisa meninggalkan pisau dapur sebagai peraut pensil yang primitif.

"Oi, nanti aku boleh pinjamlah kerrokmu, ya."  pinta Polmer yang duduk di samping kanan Poltak.  Poltak menoleh ke kanan.  Sekilas terlihat olehnya dua ujung cairan kental kehijauan melesat ke dalam rongga hidung Polmer. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun