"Orang yang kami kagumi, tiba-tiba ada di hadapan kami. Pak Presiden menangis saat turun dari mobil .... Sangat bahagia sampai kami menangis histeris. Presiden yang sangat merakyat, yang selama ini kami hanya lihat di televisi, hari ini, menyalami kami di posko pengungsian." [1]
Ungkapan Yuliana Ina Sedon, salah seorang pengungsi, itu datang dari kedalaman hati warga Nele Lamadike. Itu sudah cukup untuk  menjelaskan bahwa air mata presiden dan warga korban bencana di Adonara datang dari lubuk hati terdalam. Bukan air mata yuyu, kepiting, pencitraan.
Tangis Jokowi di Flotim harus dilihat serangkai dengan tindakannya melepas jaket dan memakaikannya ke tubuh Fransiskus, seorang pemuda korban bencana, Â di Desa Tapolangun, Lembata.[3] Itu adalah bahasa simbolik. Dengan itu, Jokowi sedang mengatakan, "Saya akan memberikan apa yang ada pada diriku untuk memulihkan kondisi sosial dan fisik di wilayah bencana ini."
Jokowi memang tidak datang melenggang dengan tangan kosong ke Flotim dan Lembata NTT. Dia datang tidak hanya untuk melihat, tapi untuk bekerja bagi rakyat korban bencana.Â
Karena itu, selain membawa langsung bantuan untuk korban, Jokowi juga membawa serta Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Menteri Basukilah yang akan memimpin program pemulihan daerah bencana di NTT.
Apakah Jokowi sedang mengistimewakan NTT, dengan tangisnya di Flotim? Â Tidak. Bencana banjir bandang Flotim dan Lembata hanyalah garis ambang ketahanan emosional Jokowi. Atas segala bencana berlapis yang menimpa bangsa ini.Â
Di atas bencana pandemi Covid-19 yang seolah tak berujung, bencana alam datang silih-berganti di berbagai penjuru negeri. Â Sementara pemerintah dan rakyat berjibaku mengatasi bencana, segelintir politisi dan massa oposan sibuk mencela, menghina, dan menyalahkan pemerintah, hanya demi kepentingannya sendiri. Â
Di Flotim, di tengah warga korban bencana, Jokowi menitikkan air mata. Itu air mata keteguhan hati, untuk memberikan apapun yang ada pada dirinya, untuk kemaslahatan rakyat. Bukan hanya  rakyat Nele Lamadike dan Tapolangun, atau Flotim dan Lembata, tapi seluruh rakyat Indonesia.
***
Pada tingkat makro, air mata Jokowi di Adonara merupakan luapan kesedihan atas kondisi kemiskinan yang masih melanda sebagian masyarakat Indonesia. Kondisi yang diperparah oleh kemerosotan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Angkanya diperkirakan  naik lagi dari satu digit (9%) ke dua digit (11-12%). [4]
Secara makro, NTT adalah representasi kelompok provinsi miskin di Indonesia. Merujuk data 2019, dengan jumlah penduduk miskin 20.62%, NTT Termasuk urutan ketiga termiskin di Indonesia setelah Papua (26.55%) dan Papua Barat (21.51%). Angka itu jauh di atas rata-rata nasional (9.22%).Â