Sudah delapan orang gubernur memimpin provinsi berusia 62 tahun ini (terbentuk 20 Desember 1958), sejak A.J. Lalamentik sampai Viktor Laiskodat.  Sudah tujuh orang  presiden memimpin Indonesia, sejak Soekarno sampai Jokowi.  Tapi tak satupun dari para pemimpin itu berhasil mengangkat NTT melewati garis kemiskinan nasional.Â
Jadi, sudah sepantasnya bila seorang presiden menangisi  nasib NTT, yang tak kunjung berhasil keluar dari lumpur kemiskinan sepanjang sejarah Indonesia Merdeka.
Kemiskinan rakyat NTT, untuk sebagian, adalah buah dari kebijakan pembangunan ekonomi yang salah jalur. Â Masyarakat desa NTT terkenal sebagai petani pangan lahan kering (jagung dan padi gogo), peternak (sapi, kuda), pekebun (kopi, cengkeh, kemiri, mete), dan juga nelayan (paus) yang hebat. Itulah ekologi budaya asli NTT.Â
Tapi pemerintah kemudian memaksa masyarakat untuk menjadi petani padi sawah. Itu implikasi monolitik pembangunan pertanian yang bias ekoligi budaya Jawa. Akibatnya, agroekologi asli setempat, yaitu pertanian lahan kering dan peternakan rakyat, mengalami kemunduran. Â
Paradigma pembangunan pertanian yang berpusat pada padi sawah itu masih diteruskan Jokowi. Ditandai dengan peresmian kebun pangan (padi) di Sumba dan peresmian bendungan irigasi di Sikka, Flores. Pertanyaan kritisnya, seberapa luas sawah irigasi teknis yang bisa dibangun di NTT?
Ketika pembangunan pertanian bias padi sawah tak berhasil mengangkat ekonomi pedesaan NTT, pemerintah kemudian melirik sektor non-pertanian, khususnya industri pariwisata. Tapi ekonomi pariwisata tumbuh di luar ekologi budaya masyarakat NTT. Sektor itu dikuasai investor dari luar, semisal pada wisata Komodo dan wisata Sumba. Warga lokal hanya menikmati rejeki kecil di pinggiran kue wisata.
Suatu gejala ekonomi dualistik kini malah teramati di NTT. Â Ada industri pariwisata yang kapitalistik di satu bidang dan pertanian rakyat yang pra-kapitalistik, atau paduan subsisten dan semi-komersil, di bidang lainnya. Tidak ada interaksi saling-dukung antara keduanya. Pariwisata semakin maju, pertanian tetap terbelakang. Itu sebabnya kemiskinan betah di NTT.
Pemerintah NTT, juga Presiden RI, mungkin perlu mempertimbangkan pendekatan ekologi budaya dalam pembangunan pertanian dan pariwisata di NTT. Tak terpaku pada pendekatan ekonomi nasional.Â
Dalam pendekatan ekologi budaya, rakyat NTT menjadi pemangku utama. Â Rakyat menjadi pelaku utama dalam ekologi budaya pertanian-pariwisata. Sebagai pengusaha ataupun pekerja, yang mengikat kerjasama dengan investor dari luar.
Warga NTT, bagaimanapun juga, harus menjadi "tuan" bagi  kemajuan ekonomi di daerahnya. Pendekatan ekologi budaya memungkinkan itu.  Jika tidak demikian, sulit membayangkan NTT keluar dari lumpur kemiskinan. Â
Perlu berapa gubernur dan presiden  lagi untuk bisa mengentaskan rakyat NTT dari kemiskinan? Perlu berapa banyak lagi air mata presiden dan rakyat harus tumpah, agar NTT mau mengubah nasibnya? (efte)Â