"Ooo ..., begitu." Nada suara Togu terdengar sangat prihatin. Sorot matanya iba.
"Poltak! Jangan melamun kau!" Guru Barita berseru mengingatkan. Â Poltak tersentak. Kaget. Â
"Teng teng teng teng teng." Poltak diselamatkan lonceng penanda bubaran sekolah.Â
Murid-murid kelas dua berhamburan keluar ruangan kelas. Â Semua tertawa gembira. Kecuali satu orang, Poltak.
"Poltak!" Itu teriakan Togu memanggil. Poltak spontan menoleh ke arah teratak Si Garjung, asal teriakan itu.Â
Dari arah teratak, Togu setengah berlari menemuinya. Dia mengenakan sepatu spartakus, memakai topi panci, memegang tutup panci di tangan kiri dan tongkat kayu di tangan kanan. Togu telah menjadi prajurit Spartakus.
"Poltak, ini untukmu."  Togu  menyodorkan sesuatu dalam bungkusan daun pisang. "Kebetulan ibuku berjualan tapai singkong."
Ingin, sangat ingin, Poltak memeluk Togu. Menumpahkan rasa haru, gembira, dan syukur yang campur-aduk di hatinya.. Â
"Mauliate, Togu." Poltak berteria. Togu sudah balik kanan, berlari seperti rase ke arah rumahnya di belakang sekolah. Prajurit Spartakus dari Hutabolon itu sedang mengejar musuhnya. (Bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H