"Tidak, Ompung." Â Poltak menyangkal.
"Jangan bohong kau, Poltak! Â Ompung tak bisa dibohongi!"
"Tidak, Ompung." Â Poltak menyangkal untuk kedua kalinya.
"Tapainya gagal, Poltak! Â Kalau tak kau rogoh-rogoh, pasti jadi!"
"Iya, Ompung." Â Poltak mengaku. Â Tak perlu seperti Simon Petrus, sampai tiga kali menyangkal tak kenal Yesus.
"Tak jadilah kau makan tapai, Poltak. Â Tahankan itu tenggorokanmu bengkak. Â Tarhirim teruslah kau!" Nenek Poltak merepet marah karena kasihnya.
"Tunggu saja sampai hari Sabtu. Â Nanti beli tapai di pekan Tigaraja," timpal Kakek Poltak datar. Â Tanpa rasa, karena bukan tenggorokannya yang bengkak.
"Amang oi amang. Â Matilah aku. Â Seminggu lagi baru sembuh." Â Poltak meratapi nasibnya dalam hati. "Coba aku tak rogoh-rogoh itu tapai," sesalnya.
Tak ada murid di kelas dua yang tahu tentang sebab-musabab bengkak di tenggorokan Poltak. Â Tak ada, kecuali Togu. Â Tapi dia bukan kelas dua. Â Dia tetap di kelas satu, tinggal kelas.
Tadi pagi, sebelum senam pagi bersama, Poltak sempat menyerahkan sepasang sepatu spartakus miliknya kepada Togu. Itu janji Poltak tahun lalu. Sepatu itu pengganti hadiah sepatu sejenis yang harusnya diterima Togu dari ibunya andai dia naik kelas.Â
"Tarhirim. Tak kesampaian makan tapai," jawab Poltak saat Togu menanyakan ikhwal tonjolan bengkak di tenggorokannya.