"Apa ini, Alogo!" Suara Guru Barita menggelegar.
"Huruf sambung, Gurunami," jawab Alogo tak yakin. Â Mendadak hatinya kisut. Â
Hari itu murid-murid kelas dua belajar menulis huruf sambung. Guru Barita sudah menuliskan contoh di papan tulis. Â Kalimat peribahasa "Mati semut karena manisan."
"Huruf sambung ompungmu!" sentak Guru Barita. "Ini bukan huruf sambung! Â Tapi huruf-huruf kau kasi garis sambung!" Â Guru Barita meradang.
Rupanya Alogo tidak menulis kata  dan kalimat dengan huruf-huruf sinambung.  Tapi ditulisnya dulu huruf miring secara terpisah satu persatu.  Baru setelah itu antara satu dan lain huruf dalam tiap suku kata dibubuhkannya garis sambung.Â
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, karya Alogo itu huruf sambung juga namanya. Â Sekurangnya bisa disebut inovasi baru dalam teknik penulisan huruf sambung.
Anak-anak sekelas menertawakan Alogo. Â Kecuali Poltak. Bukan karena dia berempati. Â Bukan. Tapi karena bengkak di tenggorokan merintangi ledakan tawanya.
"Kalau aku tak congok, tak beginilah jadinya. Â Pasti sudah sembuh." Â Poltak menyesali dirinya.Â
Rangkaian peristiwa beberapa hari lalu berputar seperti film di kepalanya.
"Kau pasti tarhirim. Â Kau ingin makan apa, amang," tanya neneknya, hari Kamis minggu lalu, sore hari. Â
Tarhirim, sangat ingin makan sesuatu tapi tak kesampaian. Itu diagnosa neneknya atas gejala bengkak di tenggorokan Poltak. Â Alasannya, Poltak tidak demam. Â Pembengkakan itu juga tak menimbulkan rasa sakit. Â Cuma menyebabkan kesulitan bicara.