Hari-hari berlalu seiring matahari terbit di timur, terbenam di barat, dan terbit lagi di timur. Â Itu buah rutinitas perputaran bumi pada sumbunya. Datang dan perginya siang dan malam selalu bisa ditebak.
Tapi tak begitu dengan hidup Poltak. Â Kerap timbul kejadian acak dalam keajegan hari ke hari. Seperti pada hari itu, suatu Senin.
Senin itu Poltak mendadak jadi pendiam ulung  di kelas.  Kalau pun bicara, ujarannya terdengar seperti derit pintu.Â
"Beng ... kak, Guru ... nami." Â Poltak terdengar seperti mencicit, sambil menunjuk tenggorokannya, saat Guru Barita menyigi perkaranya. Â Â
"Tenggorokanmu bengkak?"  tanya Guru Barita  minta penegasan. Poltak mengangguk.
"Kasihan. Tenggorokan Poltak gembung macam perut katak sombong." Pikir Guru Barita, teringat akan kisah Katak yang Sombong. Â Â
Guru Barita menyentuh dahi Poltak dengan punggung telapak tangan kanannya.
"Tapi kau tidak demam, Poltak," ujarnya heran. Poltak mengangguk. "Karena itu aku tetap masuk sekolah," katanya dalam hati.
"Mungkin Poltak kurang perhatian dari Berta, Gurunami!" Â Alogo berseru. Â Disambut tawa murid sekelas.
"Sip babami, Alogo!"  bentak Guru Barita, menyuruh Alogo  tutup mulut. "Sinikan buku tulis halusmu!" lanjutnya.
Alogo mengangsurkan buku tulisnya kepada Guru Barita. Â