Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #041] Naik Delapan Belas, Tinggal Dua

2 Maret 2021   17:23 Diperbarui: 2 Maret 2021   17:49 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau pariban wajib dinikahi, berarti kau akan punya banyak istri. Kan banyak tulangmu. Banyak pula paribanmu."

Poltak mendapat jawaban panjang lebar dari neneknya. Hanya untuk satu pertanyaan pendek yang diajukannya. Apakah pariban harus dinikahi? Takpaham dia maksud neneknya soal banyak istri itu.  "Maksudnya apa?" pikirnya.

"Suka hatimu pada Berta, ya. Bah, tak usahlah kau pikirkan itu. Kau baru kelas satu SD. Belum waktunya bicara soal nikah. Pikirkan saja pelajaranmu sajalah. Agar kau naik ke kelas dua."

"Bagaimana pula cara ompungku bisa menduga isi pikiranku," batin Poltak takjub.  Dia tidak pernah paham.  Seorang nenek sejati kenal pahompu hasian, cucu kesayangan, luar dalam seperti dia mengenal dirinya sendiri.

Itu pembicaraan Poltak dan neneknya minggu lalu.  Sepulang dari rumah Ama Rumiris, ayah Berta, paribannya di Sosorbinanga. 

Pembicaraan itu terngiang kembali di kepala Poltak pagi ini di dalam kelas.  Dipicu tawa lepas Berta.  Dia bersukaria saat diberitahu Guru Barita dia naik ke kelas dua.  

Hari ini, di penghujung  Desember 1968, adalah hari  pembagian rapor di SD Hutabolon.  Sekaligus pengumuman kenaikan kelas bagi murid kelas satu sampai lima.  Untuk kelas enam, pengumuman lulus SD.

"Poltak!  Maju! Kau naik kelas.  Nilaimu pemuncak. Bagus.  Pertahankan."  Guru Barita memanggil Poltak ke depan kelas.  

Prestasi Poltak sebagai pemuncak kelas diumumkan Guru Barita.  Ditambah satu kata pujian, lalu satu kata penyemangat.  Itu saja. Irit, tanpa piagam, apalagi piala.  Belum zamannya.

"Hebat kali kau, Poltak!" 

Ah, itu ucapan kagum Berta.  Pujian langsung tak terduga.   Poltak melirik ke arah Berta.  Senyum anak perempuan itu sedang merekah delima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun