Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tigapuluh Jam Tanpa Listrik di Jakarta

24 Februari 2021   05:17 Diperbarui: 24 Februari 2021   21:04 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret genangan banjir tanggal 20 Februari 2021 di satu ruas jalan di Mampang Prapatan Jakarta. Titik genangan ini sekitar 3 meter di atas dasar sungai Anak Kali Krukut (Dokpri)

Sabtu, 20 Februari 2021, pukul 00.30 WIB

Saya tersentak dari lelap yang baru sejenak. Gerujuk deras air dari pancuran talang halaman belakang rumah membangunkanku. Istriku juga terbangun olehnya.  Hujan deras mengguyur Gang Sapi, pasti juga Jakarta.

Sesuai anjuran Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, pekarangan belakang yang sempit itu saya jadikan kolam penampungan sementara air. Agar air hujan tak lari ke sungai. Tapi meresap masuk ke dalam tanah.

Saya dan istri waswas. Curah hujan sangat lebat. Debit serap tanah lebih kecil dibanding debit curah hujan. Permukaan genangan air sudah menjilat-jilat garis lantai dapur.

Berdasar pengalaman di awal Januari 2020, jika permukaan air di kolam penampungan sudah setinggi itu, Jakarta pasti sudah kebanjiran. Setidaknya sektor timur Gang Sapi, Pejagalan sampai Pondok Karya, yang dialiri anak Kali Krukut, dan sektor Barat, Kemang sampai Pulo, yang dilewati Kali Krukut, pasti terendam banjir.

Kepungan banjir tinggal menunggu fajar. Mata sulit terpejam. Curah hujan masih deras. Dini hari kami, istei dan saya, lewati antara tidur dan taktidur.

Sabtu, 20 Februari 2021, pukul 04.30 WIB.

Saya dan istri terbangun. Atau sebenarnya sudah beberapa waktu terbangun. Mungkin istriku lebih dulu. Hujan sudah reda, sesekali gerimis. "Kemang terendam banjir," istriku meneruskan kabar dari media online yang dipantaunya.

Kemang banjir bukan berita mengejutkan. Hanya membuktikan perkiraan kami. Sejak Anies Baswedan melakukan betonisasi pada seluruh trotoar Kemang Raya, Kemang I, dan Taman Kemang, kami sudah menduga, kawasan itu pasti akan tenggelam saat hujan lebat.

Trotoar di kawasan Kemang itu telah dibeton tahun 2019 untuk mendukung wisata kuliner dan hiburan malam. Dinilai menghalangi pejalan kaki, pohon-pohon angsana dan pule tua juga ditebang.  Diganti dengan pohon-pohon baru.

Apa yang dilakukan di situ telah menghilangkan area atau jalur resapan air hujan. Bila hujan turun deras, jalan berubah menjadi sungai dadakan yang mengantar air ke Kali Krukut. Tapi air Kali Krukut juga naik dan limpas ke bantaran. Maka banjir tak terelakkan.

Sabtu, 20 Februari 2021, pukul 07.00 WIB. 

Saya baru selesai mandi pagi, masih di dalam kamar mandi. Mendadak gulita. Listrik padam. Tepatnya pemadaman.  

"Kejadian lagi. Banjir dan pemadaman listrik." Ini persis kejadian awal Januari 2020. Saat Gang Sapi terkepung banjir akibat hujan ekstrim yang melimpaskan aliran Kali Krukut dan anak Krukut. Bedanya, tahun ini waktunya bergeser ke Februari. Mengikuti pergeseran musim hujan.

Saya teringat durasi dan ketinggian genangan air di pekarangan belakang dini hari tadi. Lebih lama dan lebih tinggi dibanding Januari tahun lalu. Dugaanku, banjir Februari ini lebih parah.

Saya keluar ke pekarangan depan. Menguping warga Gang Sapi ramai aduagih laporan banjir. "Kemang terendam dua meter. Mobil-mobil tenggelam." "Tendean  gak bisa dilewati." "Pondok Jaya kelelep seleher." "Pejagalan tenggelam." "Air Krukut naik tiga meter. Buncit enambelas parah. Air sampai ke depan kuburan." Laporan-laporan warga yang sudah kuduga. Tapi tetap saja bikin miris.

Saya masuk kembali ke dalam rumah, merujuk kondisi pada berita media online dan Google Map. Klop, terkonfirmasi. Laporan-laporan warga Gang Sapi benar belaka. Ditambah fakta ruas tol Simatupang di selatan, Cilandak-Pasarminggu, juga terendam banjir. Macet parah.

Sudah bisa dipastikan, hari ini saya serta istri dan anak tidak akan bisa kemana-mana. Terasing di "pulau" Gang Sapi. Di kepung banjir di sektor timur, selatan, barat, dan utara.  Tanpa listrik. Lengkap sudah derita.  

Ah, tak sepenuhnya derita. Masih tetap bersyukur kepada Tuhan. Rumah kami di Gang Sapi, karena berdiri di semacam "punggung naga", tidak ikut terendam banjir.

Sabtu, 20 Februari 2020, pukul 12.00 WIB

Makan siang seadanya di rumah. Nasi hangat, mujair goreng dan sambal kecap. Hidangan sempurna di tengah kepungan banjir. Terasa lebih nikmat dibanding menu hari tanpa banjir dan sarat listrik. Syukur kepada Tuhan.

Selepas makan siang, saya tercenung. Berpikir tentang warga yang rumahnya tergenang banjir di sekeliling Gang Sapi.  Sangat mungkin persediaan makanan mereka ikut terendam, tak sempat diselamatkan. Kalaupun ada bahan makanan, dapur sudah terendam, tak mungkin memasaknya. Mau beli makanan juga sulit, karena warung makan sekitar juga tutup.  Pesan layanan online food, ojek online susah tembus ke lokasi banjir.  Tak terdengar pula ikhwal ada tidaknya dapur umum di Gang Sapi.

Selepas makan, saya keluar rumah sebentar untuk cek kondisi sekitar. Bahu jalan utama di barat Gang Sapi dipenuhi mobil parkir. Itu mobil-mobil milik warga Pondok Jaya yang diamankan ke tempat tinggi, ke jalur "punggung naga".

Jalanan ramai oleh  mobil-mobil dan motor-motor yang sedang berusaha  cari jalan keluar dari kepungan banjir.  "Balik, pak. Banjir!"  "Gak bisa lewat. Banjir seleher!"  Warga yang hilir-mudik di jalan mengingatkan para pemobil dan pemotor yang tampak putus asa.  Mungkin mereka sudah lelah cari jalan tembus ke Jalan Buncit Raya di timur Gang Sapi.  

Sabtu, 20 Februari 2020, pukul 16.00 WIB

Rasanya sakit di hati membaca berita penjelasan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan tentang penyebab banjir di Jakarta.  Lebih sakit hati karena saya mengakses berita di media-media online dengan sisa terakhir betere hape.  Setelah itu batere langsung kering dan layar hape gelap.  Power bank dikuasai istri dan anak yang hapenya juga krisis batere. Terimakasih, wahai, listrik padam.

Kata Anies Baswedan, wajar saja jika terjadi genangan di Jakarta.  Alasannya kapasitas sistem drainase Jakarta hanya mampu menyerap curah hujan dengan intensitas 50-100 mm/hari.  Di atas 100 mm/hari, maka pasti terjadi genangan. 

Lalu gubernur membabar fakta intensitas curah hujan ekstim di Jakarta dini hari.   Menurut BMKG, rata-rata di atas 150 mm:   Pasarminggu 226 mm, Sunter Hulu 197 mm, Halim 176 mm, dan Lebakbulus 154 mm.

Karena itu, kata Anies Baswedan, wajar jika sejumlah titik di Jakarta tergenang.  Sekali lagi, wajar, bukan takwajar.  Sekali lagi, tergenang, bukan banjir.

Saya sakit hati, kecewa, sebagai korban banjir dan listrik padam, telah menghabiskan sisa batere hape untuk mendengarkan penjelasan Anies Baswedan. Saya pikir, seseorang tidak perlu menjadi gubernur hanya untuk menyampaikan penjelasan yang bisa didengar dari anak kelas enam Sekolah Dasar.  Jika lubang bervolume 5 liter di tanah  diisi dengan air 10 liter, ya, air pasti limpas menggenangi daerah sekitarnya.  Ini lelucon yang menghina kecerdasan warga Jakarta.

Kata pepatah, seekor keledai tak terperosok dua kali ke dalam satu lubang yang sama.  Banjir di awal Januari 2020 banjir juga berpangkal pada curah hujan ekstrimdi Jakarta, bukan banjir kiriman dari hulu, Depok dan Bogor.  Apakah Gubernur Anies Baswedan tak belajar dari kesalahannya pada Januari 2020?  Padahal BMKG sudah mengingatkan potensi curah hujan ekstrim bulan Februari 2021.

Bukan dalih kapasitas drainase yang lebih kecil dibanding volume curah hujan yang ingin saya dengar dari Anies Baswedan. Bukan, sekali lagi bukan itu.  Saya ingin mendengar alasan mengapa kapasitas drainase Jakarta tidak ditingkatkan sehingga mampu mengakomodasi curah hujan ekstrim, sampai 250 mm/hari.  Kemana itu  program andalan naturalisasi sungai dan sumur resapan?   Saya tidak tanya normalisasi sungai, karena Anies Baswedan ogah sungai dinormalkan.

Lagi, Anies Baswedan menyalahkan curah hujan di hulu, Depok dan Bogor.  Banjir kiriman katanya. Padahal, saat banjir terjadi di Jakarta, Katulampa Bogor baru status Siaga 3.  Banjir kiriman terjadi jika Katulampa berstatus Siaga 1.

Sabtu, 20 Februari 2021, pukul 18.30 WIB

Duabelas jam sudah listrik padam.  Dampaknya mulai bermunculan di dalam rumah.  Persediaan sayur-mayur dan lauk mentah di dalam kulkas mulai berkeringat dan melunak.  Batere hape istri dan anak menipis, nyaris mati.  Persediaan air besih di ember, hasil tampungan dari turen yang stop krannya dol, tinggal sedikit.   

Di luar, di Gang Sapi, mulai terdengar teriakan-teriakan mengeluh.  "Air habis!" "Batere hape habis!"  "Minta air, dong. Buat masak."  Teriakan terakhir ini ditujukan sejumlah ibu kepada tetangganya yang melanggan air dari PAM. Begitulah solidaritas warga Gang Sapi tercipta kembali oleh listrik padam.

Di dalam rumah saya menuang tampungan air hujan untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus.  Mengikuti nasihat Gubernur Jakarta Anies Baswedan kami giat memanen curah hujan, menggunakan ember-ember bekas cat sebagai wadah tampung. Lumayan dapat tiga ember besar. Setelah dibubuhi cairan antiseptik, siap digunakan untuk keperluan mandi sore.  Jadilah kami sekeluarga mandi air hujan tanpa hujan-hujanan. Terimakasih kepada Anies Baswedan, atas nasihat cemerlangnya.

Saya pikir ada baiknya Gubernur Jakarta menjalankan program gentongisasi air hujan.   Setiap rumahtangga diberi bantuan gratis dua gentong besar untuk memanen air hujan.  Tinggal hitung jumlah rumahtangga kelas menengah dan bawah di Jakarta. Kalikan dua buah gentong.  Lalu dikalikan dengan harga per gentong air. Saya kira nilainya cukup menggiurkan untuk menjadi sebuah proyek.

Sabtu, 20 Februari 2021, pukul 21.00 WIB

Takada harapan listrik menyala malam ini. Harapan terbaik, berdasar pengalaman awal Januari 2020, istrik baru bisa menyala kembali besok, Minggu, sore.  Sesial-sialnya, ya, nyala besok malam.

Istri, anak-anak, dan saya mendadak kembali ke suasana pedesaan tahun 1970-an. Tak ada listrik. Untuk penerangan, sisa persediaan lilin dinyalakan semua. Mendadak suasana rumah menjadi syahdu.

Batere semua hape dan powerbank sudah kering. Komunikasi elektronik terputus sudah. Kami  takbisa mengakses berita di luar sana, juga takbisa diakses kerabat dan teman-teman.  Itulah potret masyarakat komunikasi elektronik bila listrik tidak ada.

Tapi ada sisi bagusnya. Kami sekeluarga kini bisa terlibat dalam komunikasi tatapmuka, langsung dan intim. Tanpa gangguan hape yang ternyata sialan itu. Komunikasi intim antar anggota keluarga itulah yang telah memudar akibat internet.  Listrik padam telah mengembalikannya. Terimakasih PLN.

Pepatah Melayu mengatakan, "Tiap-tiap celaka ada faedahnya." Begitulah. Banjir menyebabkan pemadaman listrik. Listrik padam mengembalikan komunikasi intim, langsung, dan tatapmuka kepada keluarga. Haruskah saya berterimakasih kepada banjir Jakarta?

Minggu, 21 Februari 2021, pukul 08.00 WIB

Hari Minggu, kami mangkir kebaktian Misa online dari gereja. Listrik masih padam, internet mati, dan semua hape kering baterenya. Tak mungkin mengakses Misa online. 

Ampunilah kami, ya Tuhan, atas mangkir Misa pada hari-Mu ini. Kalau Kau mau, Kau bisa menyalakan listrik di rumah kami. Tapi bukan mau kami, melainkan kehendak-Mu-lah yang terjadi. Maka listrik masih padam. 

Dengarlah, nama Tuhan telah dibawa-bawa. Apakah banjir dan listrik padam Jakarta telah membuat kami mendadak religius? Entahlah. 

Karena batere semua hape dan power bank sudah kwring, ditemani anak, saya pergi ke rumah orangtua di Kebayoran Baru untuk cas daya. Listrik di sana menyala. Jalan Tendean sudah kering, jadi kami bisa lewat dari situ.  

Langit Jakarta  tampak lumayan cerah. Tidak tetlihat tanda-tanda bakal turun hujan lagi. Itu bagus. Bisa membantu percepatan penyurutan genangan banjir di lingkar Gang Sapi Jakarta.

Minggu 21 Februari 2021, pukul 12.15 WIB

Semua hape dan power bank sukses 100 persen tercas di rumah orangtua. Setidaknya bisa bertahan sampai besok pagi, Senin, 22 Februari. 

Itu perhitungan paling sial. Karena menaruh asumsi banjir Jakarta tak kunjung surut. Soalnya Gubernur Anies Baswedan sudah mewanti-wanti warga akan risiko banjir kiriman dari hulu, Depok dan Bogor. 

Gubernur Jakarta Anies Baswedan mungkin telah menerakan satu inovasi solusi banjir di kotanya. Sejatinya bukan dengan inovasi teknologi anti-banjir, semacam naturalisasi sungai,  sumur resapan, normalisasi sungai, ataupun tanggul gigir pesisir. Tapi dengan inovasi sosial ini: wanti-wanti risiko banjir, lalu ungsikan warga ke lokasi bebas banjir.  Simpel, murah.

Merujuk peta lalu-lintas Google Map, saya mengambil jalan pulang ke Gang Sapi lewat Jalan Kemang Raya. Melintas pelan  di jalur elite kebanggaan Gubernur Anies Baswedan itu, saya melihat tiga mobil damkar sedang menggulung selang. Jalan Kemang Raya sudah kering. Mobil damkar itu bagian dari solusinya.

Begitulah. Di Jakarta mobil damkar tak hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran, tapi juga "pemadam kebanjiran". Kreatif? Ya. Tapi sekaligus menunjukkan buruknya pengendalian banjir Jakarta. Sehingga petugas dan fasilitas damkar kota juga harus dikerahkan. Untung pada saat bersamaan tidak ada bencana kebakaran.

Berlalu dari Jalan Kemang Raya, saya diamuk tanya, apakah Gubernur Anies Baswedan mengerahkan damkar juga ke kampung girli padat yang terendam banjir di sektor timur Gang Sapi. Apakah karena Jalan Kemang Raya itu kawasan elite, sehingga gubernur harus menyelamatkan muka di situ dengan mengirim mobil damkar? Ah, bukan saya yang harus menjawab, tapi Gubernur Anies.

Minggu, 21 Februari 2021, pukul 13.00 WIB

Saya bersama anak baru saja tiba di rumah seperempat jam lalu, dengan batere semua hape dan power bank terisi penuh 100 persen. Setiap anggota keluarga kini punya nyawa komunikasi elektronik, setidaknya sampai besok pagi.

Saat sedang menyiapkan makan siang di meja, tiba-tiba, "Tiiit", bunyi kulkas yang kami rindukan sejak kemarin terdengar. Hore! Listrik kembali menyala, setelah 30 jam pemadaman. Syukurlah, banjir sudah relatif terkendali rupanya.

Sempat terbersit tanya, "Lalu untuk apa saya jauh-jauh pwrgi ke rumah orangtua di Kebayoran Baru untuk mencas batere semua hape dan power bank?" Ah, itu pertanyaan yang menegasikan rasa syukur. Tuhan tidak suka!

"Menurut BMKG, kemungkinan 24 dan 25 Februari Jakarta kembali akan diguyur hujan ekstrim." Istriku membagikan berita ramalan cuaca. 

Berarti Kamis, 25 Februari 2021 ada kemungkinan Jakarta akan terendam banjir lagi. Kecuali, ya, kecuali Gubernur Anies Baswedan sudah belajar dari peristiwa banjir 20 Februari kemarin. Tapi jika dalam setahun gubernur tak mampu belajar solusi banjir, apakah adil berharap dia bisa belajar dalam sehari? Saya hanya bisa berharap, semoga ramalan BMKG meleset. Bukankah sering begitu?

Sambil mengunyah makanan, saya teringat distingsi tipe pemimpin hebat dan pemimpin takhebat menurut Jim Collins. Pemimpin hebat adalah sosok yang teguh, fokus, punya satu ide besar dan bertekun mewujudkannya, dan bila gagal, selalu melihat kesalahan dalam dirinya. 

Sebaliknya pemimpin takhebat adalah sosok yang plin-plan, takfokus, punya banyak ide besar tapi tak mampu mewujudkan satu pun, dan atas setiap kegagalan, selalu melihat kesalahan di luar dirinya.

Saya sangat ingin bertanya kepada Gubernur Jakarta Anies Baswedan, "Termasuk tipe pemimpin manakah anda, Pak Gubernur?"  Sayang, saya tak punya nomor hapenya. Padahal, batere hapeku sudah penuh dan listrik pun sudah menyala kembali.(*)

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun