Selepas makan, saya keluar rumah sebentar untuk cek kondisi sekitar. Bahu jalan utama di barat Gang Sapi dipenuhi mobil parkir. Itu mobil-mobil milik warga Pondok Jaya yang diamankan ke tempat tinggi, ke jalur "punggung naga".
Jalanan ramai oleh  mobil-mobil dan motor-motor yang sedang berusaha  cari jalan keluar dari kepungan banjir.  "Balik, pak. Banjir!"  "Gak bisa lewat. Banjir seleher!"  Warga yang hilir-mudik di jalan mengingatkan para pemobil dan pemotor yang tampak putus asa.  Mungkin mereka sudah lelah cari jalan tembus ke Jalan Buncit Raya di timur Gang Sapi. Â
Sabtu, 20 Februari 2020, pukul 16.00 WIB
Rasanya sakit di hati membaca berita penjelasan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan tentang penyebab banjir di Jakarta. Â Lebih sakit hati karena saya mengakses berita di media-media online dengan sisa terakhir betere hape. Â Setelah itu batere langsung kering dan layar hape gelap. Â Power bank dikuasai istri dan anak yang hapenya juga krisis batere. Terimakasih, wahai, listrik padam.
Kata Anies Baswedan, wajar saja jika terjadi genangan di Jakarta. Â Alasannya kapasitas sistem drainase Jakarta hanya mampu menyerap curah hujan dengan intensitas 50-100 mm/hari. Â Di atas 100 mm/hari, maka pasti terjadi genangan.Â
Lalu gubernur membabar fakta intensitas curah hujan ekstim di Jakarta dini hari. Â Menurut BMKG, rata-rata di atas 150 mm: Â Pasarminggu 226 mm, Sunter Hulu 197 mm, Halim 176 mm, dan Lebakbulus 154 mm.
Karena itu, kata Anies Baswedan, wajar jika sejumlah titik di Jakarta tergenang. Â Sekali lagi, wajar, bukan takwajar. Â Sekali lagi, tergenang, bukan banjir.
Saya sakit hati, kecewa, sebagai korban banjir dan listrik padam, telah menghabiskan sisa batere hape untuk mendengarkan penjelasan Anies Baswedan. Saya pikir, seseorang tidak perlu menjadi gubernur hanya untuk menyampaikan penjelasan yang bisa didengar dari anak kelas enam Sekolah Dasar.  Jika lubang bervolume 5 liter di tanah  diisi dengan air 10 liter, ya, air pasti limpas menggenangi daerah sekitarnya.  Ini lelucon yang menghina kecerdasan warga Jakarta.
Kata pepatah, seekor keledai tak terperosok dua kali ke dalam satu lubang yang sama. Â Banjir di awal Januari 2020 banjir juga berpangkal pada curah hujan ekstrimdi Jakarta, bukan banjir kiriman dari hulu, Depok dan Bogor. Â Apakah Gubernur Anies Baswedan tak belajar dari kesalahannya pada Januari 2020? Â Padahal BMKG sudah mengingatkan potensi curah hujan ekstrim bulan Februari 2021.
Bukan dalih kapasitas drainase yang lebih kecil dibanding volume curah hujan yang ingin saya dengar dari Anies Baswedan. Bukan, sekali lagi bukan itu.  Saya ingin mendengar alasan mengapa kapasitas drainase Jakarta tidak ditingkatkan sehingga mampu mengakomodasi curah hujan ekstrim, sampai 250 mm/hari.  Kemana itu  program andalan naturalisasi sungai dan sumur resapan?  Saya tidak tanya normalisasi sungai, karena Anies Baswedan ogah sungai dinormalkan.
Lagi, Anies Baswedan menyalahkan curah hujan di hulu, Depok dan Bogor. Â Banjir kiriman katanya. Padahal, saat banjir terjadi di Jakarta, Katulampa Bogor baru status Siaga 3. Â Banjir kiriman terjadi jika Katulampa berstatus Siaga 1.