"Buk." Kena! Â Bukan walet, tapi punggung Guru Gayus yang sedang melintas naik sepeda di jalan depan gereja.Â
"Hei! Siapa yang melempar! Diam di situ semua! Jangan ada yang bergerak!"
Guru Gayus marah besar. Â Jika Guru Agama marah, maka hukumannya pasti melibatkan nama Tuhan. Berat, berat sekali.Â
Menuntun sepedanya mendekat, senyum datar di bibir Guru Gayus adalah isyarat amarah tak terkira. Delapan anak kecil, pasukan penyerang walet terbang, berdiri kaku dengan wajah pias di depan gereja. Mereka menjadi tontonan anak-anak yang lain.
Lonceng sekolah berdentang lima kali. Panggilan untuk senam pagi bersama.
"Kalian berdelapan tetap di sini! Lainnya, pergi sana! Senam pagi!" Perintah Guru Gayus dengan nada suara datar, keras, dan tegas.Â
Takada murid yang berani membantah Guru Gayus. Dia Guru Agama. Pantang dibantah. Dosa.
"Apa yang kalian lakukan tadi!"
Diam. Delapan anak menunduk. Hening.Â
"Pak Guru tanya! Jawab!"
"Pe ... perang, Gurunami. Melawan walet gereja," Poltak menjawab, berselimut kembut.