"The intuitive mind is a sacred gift and the rational mind is a faithful servant." - Albert Einstein
Tiap kali bicara tentang intuisi, saya selalu ingat ujaran Einstein itu. Ya, saya sepakat dengan ujarannya. Pikiran intuitif, intuisi, inti kecerdasan manusia, adalah kurnia suci. Sedangkan pikiran rasional, rasio, kulit kecerdasan, adalah hamba setia.
Moda pikir intuitif itulah, bukan rasio, yang sejak 1980-an saya anut dalam kerja riset sosial. Dengan sendirinya, tentu saja, juga dalam kerja penulisan yang mengikut.
Itu kulakukan bukan karena meragukan rasio. Sama sekali, bukan. Tapi karena intuisi, menurut pengalamanku, adalah pikiran yang merdeka.
Intuisi itu merdeka dari penjajahan pakem-pakem metode yang kaku, sempit, dan memaksa. Dengan begitu dia, pikiran merdeka, itu bisa tiba pada kebenaran hakiki.
Saya sepakat dengan pendapat Samples tentang intuisi Einstein (The Metaphoric Mind: A Celebration of Creative Consciousness, 1976). Katanya, moda pikir intuitif, atau metaforik, itu sesuatu yang takbiasa. Selayaknya anak kecil, dia liar seliarnya, bebas sebebasnya. Ya, itulah berpikir merdeka.
Begitulah, dengan intuisinya, pikiran bebas merdeka, Einstein berhasil merumuskan Teori Relativitas Umum untuk mengoreksi Teori Gravitasi Newton. Kata Newton, planet dan benda angkasa bergerak pada bidang lurus jika tidak dipengaruhi gaya gravitasi.
Tidak, kata Einstein, gravitasi bukan gaya. Dia adalah konsekuensi massa yang mendistorsi anyaman ruang-waktu (spacetime) menjadi lengkung. Karena itu, lanjutnya, cahaya akan berbelok jika melintas di dekat planet.
Itulah hasil kekuatan intuisi Einstein. Dia yakin akan kebenarannya. Kendati dia tak pernah membuktikannya secara empiris. Kelak, ekspedisi Eddington membuktikan kebenaran teori Einstein itu.
Tapi, seseorang tentu saja tidak harus menjadi seperti Einstein, atau Stephen Hawking, untuk bisa berpikir intuitif. Setiap orang bisa berpikir intuitif, seperti halnya berpikir rasional.
Masalahnya, memang, sekolah mengajarkan kita untuk mengedepankan pikiran rasional, logika empirik, sehingga karunia pikiran intuitif kita jadi lumpuh.
Benarlah kata-kata Samples, "We have created a society that honors the servant and has forgotten the gift.” Ya, masyarakat modern, kita, lebih menghargai "hamba" (rasio) dan melupakan "karunia" (intuisi).
***
Moda pikir intuitif itu, menurutku, jumbuh dengan faham anarkisme metode (against method) ala Paul Feyerabend. "Metodeku adalah tanpa-metode," kata Feyerabend. Itu untuk mengatakan "(metode) apa saja boleh" dalam riset, sejauh berujung pada kebenaran ilmiah.
Nasihat Feyerabend itulah yang kuanut dalam riset sosial. Takpercaya adanya satu metode riset baku menuju kebenaran ilmiah tentang realitas sosial.
Bagiku, kebenaran atas realitas sosial harus digali dengan menggunakan segala macam metode. Metode-metode itu harus ditemukan sendiri saat riset di lapangan.
Dengan begitu, saya melakoni riset sebagai proses penemuan dua hal sekaligus, yaitu metode dan kebenaran ilmiah. Saya selalu bilang, sebagai pertanggungjawaban, "Saya berhasil menemukan metode risetku tepat pada saat kesimpulan riset selesai kurumuskan."
Intuisi, pikiran merdeka, itulah "senjata" utama untuk menjalankan "metode tanpa metode". Bukan terutama rasio, pikiran kaku. Sebab rasio membawa konsekuensi ketundukan pada satu metode baku.
Intuisi akan menghasilkan percikan-percikan serendipitas, temuan-temuan baru tak terduga. Itulah esensi proses riset sejati, penemuan kebaruan, sesuatu yang bersifat aposteriori.
Sebaliknya rasio, pikiran yang terpenjara oleh metode baku, akan membunuh serendepitas. Artinya, dia membunuh kesempatan penemuan kebaruan.
Rasio atau metode baku hanya mencari dan mengambil data yang telah ditentukan, demi menguji kebenaran sebuah hipotesa. Itulah kebenaran yang telah dirumuskan secara apriori.
Saya beri contoh untuk memudahkan pemahaman. Saat Clifford Geertz melakukan riset di Jawa, mengumpul data untuk buku Involusi Pertanian, dia sebenarnya sedang membanding ekonomi Jawa dan Jepang. Simpul Geertz, seandainya hasil agroindustri kolonial digunakan untuk pembangunan ekonomi Jawa, bukan ekonomi Belanda, maka ekonomi Jawa telah sama maju dengan ekonomi Jepang.
Tapi, dalam proses riset itu Geertz secara tak sengaja, dan itu adalah serendipitas, menemukan suatu gejala unik. Dominasi perkebunan kolonial di Jawa telah menyebabkan semakin banyak warga pedesaan Jawa menumpuk cari nafkah pada terlalu sempit areal sawah.
Sawah di Jawa menjadi arena ekologi budaya yang melar seperti balon. Dia menciptakan relasi-relasi sosial-ekonomi yang rumit di dalamnya. Sehingga setiap orang bisa masuk cari nafkah di situ. Kendati dengan hasil yang semakin kecil.
Oleh Gertz, gejala itu kemudian disebut "involusi pertanian." Itu meminjam istilah "involusi" dari dunia seni ukir yang menyajikan ornamen rumit.
Tanpa intuisi yang kuat, Geertz jelas tidak akan pernah bisa menemukan gejala "involusi pertanian." Jika hanya memperturutkan pikiran rasional, maka sudah pasti dia berhenti pada komparasi ekonomi Jawa dan Jepang.
***
Menulis, bagiku, adalah sebuah proses riset. Karena itu, sama seperti dalam proses riset sosial, saya juga mengandalkan intuisi dalam proses penulisan, katakanlah sebuah artikel.
Saya melupakan semua metode, teknik, dan tip penulisan yang pernah kuketahui. Lalu sepenuhnya menerapkan pendekatan "metode tanpa metode." Hanya dituntun oleh pikiran intuitif.
Metode tanpa metode yang intuitif itu, bersandar pada prinsip "kepala kosong pikiran terbuka". Saya menyediakan "ruang kosong" di kepala. Segala informasi yang muncul sepanjang proses menulis artikel, diterima di situ.
Proses itu akan memercikkan rangkaian serendipitas. Lalu secara keseluruhan, tanpa didisain sebelumnya, serendipitas-serendipitas itu membentuk suatu bangunan tulisan.
Proses berpikir intuitif, serta proses kelahiran serendipitas, adalah pengalaman unik. Dia berbeda dari satu ke lain orang.
Daeng Khrisna Pabichara, misalnya, telah menaja dan mengagihkan empat judul artikel yang mengisahkan proses berpikir intuitifnya di Kompasiana. Itu pengalaman khas, personal, dari Daeng Khrisna.
Anda dan saya tak bisa meniru Daeng Khrisna, apalagi mereplikasinya. Ujungnya pasti konyol. Anda, juga saya, harus menemukan "jalan sendiri."
Tapi, kisah Daeng Khrisna tentang proses berpikir intuitif, tentulah sumber pelajaran berharga. Dari pengalamannya, kita belajar bahwa sebuah tulisan yang berkarakter kuat, punya sinyatur (signature) khas, hanya mungkin dihasilkan dari proses berpikir merdeka.
Berpikir merdeka itu adalah intusi. Dia adalah moda pikir tertinggi yang memerdekakan kita dari penjara aturan-aturan baku pikiran rasional.
Untuk memberikan contoh, artikel ini adalah hasil berpikir intuitif. Pada mulanya saya punya niat untuk merespon empat judul artikel anggitan Daeng Khrisna. Saya tidak punya disain artikel respon, kecuali konsep intuisi dan anti-metode, serta nama-nama Einstein dan Feyerabend. Lalu punya pengalaman riset sosial dan menulis artikel.
Intuisiku mengatakan, saya harus mengawali artikel ini dengan mengutip ujaran Einstein di atas. Beranjak dari situ, saya membiarkan pikiran intuitif berkelana, tanpa tali kekang.
Pikiran kelana itu lantas memetik ragam informasi yang berkait pada ujaran Einstein. Pada saat bersamaan, dia juga menangkap percikan-percikan serendipitas. Misalnya jumbuh antara intuisi, anti-metode (metode tanpa metode), dan prinsip kepala kosong pikiran terbuka. Secara simultan, intuisi merangkai semua informasi dasar dan serendipitas itu menjadi bangunan artikel ini.
Sulitkah? Tentu saja sulit jika kita adalah bagian dari masyarakat yang memuja pikiran rasional, hamba, tapi melemparkan pikiran intuitif, karunia, ke dalam "tong sampah di kepala."
Pada akhirnya, kita perlu bertanya secara sungguh-sungguh, jujur, kepada diri sendiri: "Apakah aku terbilang sebagai pemuja hamba atau penikmat-syukur karunia?" (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H