Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Intuisi, Moda Pikir Merdeka untuk Penulis

4 Februari 2021   16:04 Diperbarui: 4 Februari 2021   19:12 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari intisari.grid.id

Daeng Khrisna Pabichara, misalnya, telah menaja dan mengagihkan empat judul artikel yang mengisahkan proses berpikir intuitifnya di Kompasiana. Itu pengalaman khas, personal, dari Daeng Khrisna.  

Anda dan saya tak bisa meniru Daeng Khrisna, apalagi mereplikasinya. Ujungnya pasti konyol. Anda, juga saya, harus menemukan "jalan sendiri."  

Tapi, kisah Daeng Khrisna tentang proses berpikir intuitif, tentulah sumber pelajaran berharga. Dari pengalamannya, kita belajar bahwa sebuah tulisan yang berkarakter kuat, punya sinyatur (signature) khas, hanya mungkin dihasilkan dari proses berpikir merdeka.  

Berpikir merdeka itu adalah intusi. Dia adalah moda pikir tertinggi yang memerdekakan kita dari penjara aturan-aturan baku pikiran rasional.

Untuk memberikan contoh, artikel ini adalah hasil berpikir intuitif.  Pada mulanya saya punya niat untuk merespon empat judul artikel anggitan Daeng Khrisna.  Saya tidak punya disain artikel respon, kecuali konsep intuisi dan anti-metode, serta nama-nama Einstein dan Feyerabend.  Lalu punya pengalaman riset sosial dan menulis artikel.  

Intuisiku mengatakan, saya harus mengawali artikel ini dengan mengutip ujaran Einstein di atas. Beranjak dari situ, saya membiarkan pikiran intuitif berkelana, tanpa tali kekang.

Pikiran kelana itu lantas memetik ragam informasi yang berkait pada ujaran Einstein. Pada saat bersamaan, dia juga menangkap percikan-percikan serendipitas. Misalnya jumbuh antara intuisi, anti-metode (metode tanpa metode), dan prinsip kepala kosong pikiran terbuka.  Secara simultan, intuisi merangkai semua informasi dasar dan serendipitas itu menjadi bangunan artikel ini.

Sulitkah? Tentu saja sulit jika kita adalah bagian dari masyarakat yang memuja pikiran rasional, hamba, tapi melemparkan pikiran intuitif,  karunia, ke dalam "tong sampah di kepala."  

Pada akhirnya, kita perlu bertanya secara sungguh-sungguh, jujur,  kepada diri sendiri: "Apakah aku terbilang sebagai pemuja hamba atau penikmat-syukur karunia?" (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun