Masalahnya, memang, sekolah mengajarkan kita untuk mengedepankan pikiran rasional, logika empirik, sehingga karunia pikiran intuitif kita jadi lumpuh.
Benarlah kata-kata Samples, "We have created a society that honors the servant and has forgotten the gift.” Ya, masyarakat modern, kita, lebih menghargai "hamba" (rasio) dan melupakan "karunia" (intuisi).
***
Moda pikir intuitif itu, menurutku, jumbuh dengan faham anarkisme metode (against method) ala Paul Feyerabend. "Metodeku adalah tanpa-metode," kata Feyerabend. Itu untuk mengatakan "(metode) apa saja boleh" dalam riset, sejauh berujung pada kebenaran ilmiah.
Nasihat Feyerabend itulah yang kuanut dalam riset sosial. Takpercaya adanya satu metode riset baku menuju kebenaran ilmiah tentang realitas sosial.
Bagiku, kebenaran atas realitas sosial harus digali dengan menggunakan segala macam metode. Metode-metode itu harus ditemukan sendiri saat riset di lapangan.
Dengan begitu, saya melakoni riset sebagai proses penemuan dua hal sekaligus, yaitu metode dan kebenaran ilmiah. Saya selalu bilang, sebagai pertanggungjawaban, "Saya berhasil menemukan metode risetku tepat pada saat kesimpulan riset selesai kurumuskan."
Intuisi, pikiran merdeka, itulah "senjata" utama untuk menjalankan "metode tanpa metode". Bukan terutama rasio, pikiran kaku. Sebab rasio membawa konsekuensi ketundukan pada satu metode baku.
Intuisi akan menghasilkan percikan-percikan serendipitas, temuan-temuan baru tak terduga. Itulah esensi proses riset sejati, penemuan kebaruan, sesuatu yang bersifat aposteriori.
Sebaliknya rasio, pikiran yang terpenjara oleh metode baku, akan membunuh serendepitas. Artinya, dia membunuh kesempatan penemuan kebaruan.
Rasio atau metode baku hanya mencari dan mengambil data yang telah ditentukan, demi menguji kebenaran sebuah hipotesa. Itulah kebenaran yang telah dirumuskan secara apriori.