Tidak, tidak begitu. Â Poltak sekama ini tak memperhitungkan jalan panjang, 6-7 tahun, yang dilalui sesuap nasi itu. Negara, swasta, dan petani telah mengeluarkan banyak uang, jika semua korbanan dikonversi ke dalam nilai uang, untuk bisa menghasilkan benih, gabah, dan beras bermutu tinggi bagi rakyat Indonesia.
Jadi, mulai hari ini, saat kita mengunyah sesuap nasi, baiklah jika mengingat 6-7 tujuh tahun yang telah dilalui nasi itu sebelum tiba di dalam mulut dan kemudian perut kita. Â Ini mestinya menyadarkan bahwa kita, umat pengunyah nasi ini, telah melahap makanan yang sangat mahal harganya setiap hari, dua atau tiga kali sehari.
Apa implikasinya pada sikap kita? Â Sikap Poltak mungkin bisa menjadi teladan. Â Sadar bahwa beras itu makanan yang sangat mahal, kini dia bertekad untuk mengurangi konsumsi nasi. Katanya, "Bukan jumlahnya yang penting, tapi kualitasnya."
Begitulah. Pemerintah, pengusaha dan petani berjuang mewujudkan swasembada beras denganccara nenibgkatkan oroduksi dan produktivitas padi. Sementara Poltak berjuang dengan cara mengurangi tingkat konsumsi.
Demikian Poltak Center menulis untuk Kompasiana.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H