Begitulah, dalam tiga sore, Poltak dilatih Parandum beladiri dengan senjata utama tendangan. Untuk melatih kekuatan tendangan, Poltak diharuskan menghajar anakan pohon pisang sampai tumbang. "Itu tendangan karate," kata amangudanya.
"Tinju kiri, kau masuk rumah sakit. Tinju kanan, kau masuk liang kubur." Jonder menebar perang urat syaraf. Dia yakin bisa membereskan Poltak dengan satu dua pukulan.
Rombongan kecil berkepala dan berhati panas itu tiba di Peabolak. Â Tempat ini adalah padang penggembalaan kerbau untuk warga Sorpea. Di tengah padang itu terbentang Peabolak, semacam danau kecil.Â
Poltak dan Jonder kini sudah berhadap-hadapan di lapangan rumput. Di belakang masing-masing, berdiri teman-teman mereka untuk menyemangati. Di latar belakang, terbentang Peabolak dengan permukaan air berkilauan. Lebih jauh lagi, tampak hamparan sawah bertingkat. Lalu, di kejauhan, terlihat puncak Gunung Simarnaung. Sungguh, sebuah ajang kelahi yang indah.
Mendadak Jonder menyerang Poltak. Gaya kelahinya pungpang, menyeruduk sambil kedua tinjunya silih-berganti diayunkan ke depan. Persis anak kerbau yang menyerudukkan tanduknya kiri-kanan.
Terbiasa mengelak dari serudukan anak kerbau, Poltak cekatan menghindar ke samping kiri. Kesiur angin pukulan tangan kanan Jonder menerpa hidungnya. Jonder hadap kanan, kembali melontarkan tinjunya sambil merunduk.
Poltak menghindar lagi ke kiri lalu, secepat kilat, mengirim sebuah tendangan keras ke rusuk kanan Jonder.
Jonder mengaduh keras. Berhenti sejenak. Membungkuk memegangi rusuk kanannya dengan kedua tangan. Â
Poltak tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tanpa ampun, sebuah sepakan keras dikirim telak ke selangkangan Jonder. Â
Jonder meraung kesakitan. Tersungkur ke tanah sambil memegangi selangkangannya. Perlawanannya terhenti.Â
"Pamangus! Lari!" Tiba-tiba Binsar berteriak keras, sambil menunjuk ke arah utara, lalu lari tunggang-langgang ke arah kampung Sorpea.Â