Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #034] Samson Batak dari Hutabolon

11 Desember 2020   15:10 Diperbarui: 12 Desember 2020   13:16 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poltak mendapat julukan "Si Gagak Pilek" dari teman-teman sekelasnya. Itulah upah murid yang gemar mengritik guru.

Beberapa hari lalu, Poltak dan Guru Barita bersilang pendapat.  Menurut Guru Barita murid kelas satu pasti akan tersesat di hutan, karena mereka tidak hafal delapan penjuru mata angin. Poltak membantah karena, berdasar pengalaman, dia bersama Binsar dan Bistok tak pernah tersesat di hutan.

"Terserah kaulah, Poltak, mau nyanyi apa," kata Guru Barita.  Poltak sedang dihukum menyanyi di depan kelas, lantaran silang pendapat yang dinilai tanpa basa-basi itu.

"A sing sing so. Ueee ... lugahon ahu da parau ..."

"Stop!  Cukup! Duduk kembali!" Guru Barita langsung menghentikan Poltak yang baru melantunkan baris pertama lagu Batak A Sing Sing So.  

Poltak terdiam.  Bingung.  Apa pasal? Dia merasa dirinya tadi sudah menyanyi semerdu Gordon Tobing, penyanyi lagu Batak yang sohor sejagad itu.

"Suaramu macam, gaok gagak pilek.  Tambah pening kepalaku."  Guru Barita memegangi kepalanya yang sudah pusing lantaran murid-muridnya tidak hafal delapan penjuru mata angin.

Tidak ada murid yang berani tertawa.  Gelak tawa mereka baru meledak setelah keluar sekolah. 

"Poltak gagak pilek! Poltak gagak pilek!"  Teman-temannya meledek sambil tertawa tergelak-gelak.

Pada hari itu, telah gugur sebuah hipotesis, yang bilang orang Batak jago menyanyi.

Anak-anak kelas satu Sekolah Dasar Hutabolon memang gemar memberi gelar aneh-aneh di antara mereka.  Polmer salah satunya. Dia digelari "Si Raksasa Ingusan". Itu lantaran ingusnya kerap heboh keluar-masuk liang hidungnya.

Tapi pada hari ini Polmer sukses mengubah julukannya.  Setelah sebuah peristiwa tanding gulat yang sangat seru dengan Bistok, "Si Kaki Tampah".

"Oi, Polmer! Berani tidak kau melawan Si Bistok!"  Nah, provokasi Jonder ini yang menjadi pemicu.

Murid-murid kelas satu baru saja bubaran sekolah. Mereka berebutan keluar lewat pintu samping gereja.  Pada saat itulah Polmer melancarkan provokasi.

"Bilang apa kau, Jonder!" Hardik Bistok yang keseniorannya merasa dinistakan.

"Bukan aku.  Si Polmer itu.  Katanya berani melawan kau adu gulat."   

Provokator ternyata dilahirkan, bukan dibentuk secara sosial. Jonder buktinya. Sangat mungkin, dialah dulu yang memprovokasi babi waktu buang hajat, hingga bokongnya diseruduk dan digigit babi itu.

"Betul itu, Polmer?  Kau menantang aku, ya!"

"Tidaklah ...," Polmer membantah.  Suaranya bernada takut.

Tapi Bistok tak mau mendengar.  Dengan tenaga penuh didorongnya Polmer sampai terjengkang. Perkelahian tak bisa dihindarkan lagi.  Jonder tertawa puas.

"Oi, jangan begitu!  Kalau mau gulat, ada aturannya!"  Poltak berteriak mewasiti.  Pikirnya, kalau tak bisa dihentikan, ya, dilanjutkan saja gulat.  Tapia da aturan mainnya.

"Ayo!  Naik ke bukit sana!"  Poltak menunjuk ke arah bukit di belakang gereja. Tanding gulat harus dilakukan di tempat yang tersembunyi.  Jangan sampai ketahuan oleh Guru Barita.  Bisa runyam urusannya.

"Begini aturannya.  Adu gulat tiga ronde.  Siapa yang jatuh ke tanah, dia kalah."  Poltak menetapkan aturan main.

"Setuju!" Bistok berteriak.   Polmer diam, tampak ragu.  Atau, mungkin, kembut pada Bistok.

"Polmer? Setuju?  Sudah, kau setuju saja!"  Poltak mengambil keputusan, sambil mendorong Polmer ke tengah arena.  Dia akan bertindak sebagai wasit.

Anak-anak yang lain, sepuluh orang,  berdiri melingkar siap menonton dan menyemangati. Setengahnya penyorak Bistok, setengah lagi penyorak Polmer.

Bistok dan Polmer berhadap-hadapan di tengah arena.   Keduanya siap tempur.

"Satu! Dua! Tiga!"  Poltak memberi aba-aba.

Bistok dan Polmer segera beradu kuat seperti dua ekor kerbau jantan.  Saling piting, berusaha menjatuhkan lawan. 

"Bistok! Polmer! Bistok! Polmer!"  Sorak-sorai pendukung silih berganti menyemangati jagoannya.

Gedebuk!  Ronde pertama selesai.  Polmer tergeletak di tanah dalam pitingan Binsar.  Poltak segera memisahkan keduanya.  Bersiap untuk ronde kedua.

"Satu! Dua! Tiga!"

Bistok dan Polmer saling piting lagi.  Berusaha keras saling-menjatuhkan.  Di tengah sorak-sorai pendukung masing-masing.

Ronde ini sangat alot, teramat alot.  Poltak melihat dari dua lubang hidung Polmer sepasang ingus kental hijau mulai  meler, mengalir seperti gletser ke bibirnya, lalu dengan cepat lesap lagi ke lorong di hidungnya. 

Poltak melihat ada yang tak laizim.  Seiring dengan keluar-masuknya ingus itu, rona muka Polmer semakin merah, dan pitingannya semakin kuat. Bistok, Si Kaki Tampah yang kekuatan kuda-kudanya seperti tiang rumah, mulai tampak kepayahan.

Bruk! Bistok jatuh terbanting ke tanah dalam pitingan Polmer. Seolah kesetanan, Polmer memperkuat pitingannya.  Bistok mulai kesulitan bernafas.

"Polmer! Lepaskan!"  Poltak berteriak, sambil menepuk-nepuk pundak Polmer.  Barulah setelah itu pitingan Polmer mengendor lalu lepas.

"Satu satu! Seri!  Ronde ketiga, penentuan!"

Bistok dan Polmer saling-piting lagi.  Tapi kali ini tidak sealot ronde kedua.  Seiring keluar-masuknya sepasang ingus Polmer, Bistok dengan cepat terbanting ke tanah.

Skor dua satu.  Kemenangan untuk Polmer, Si Raksasa Ingusan itu.  Bistok, Si Kaki Tampah itu tidak bisa lain kecuali menerima kekalahan.

"Aku kalah gara-gara ingus Si Polmer itu.  Jijik kali pun."  Bistok berdalih.  Tapi dia tetap kalah.

Poltak punya kesimpulan sendiri.  Bukan karena ingus.  Dia menyaksikan, bersamaan dengan keluar-masuk ingusnya, tenaga Polmer semakin menguat. 

"Si Polmer ini seperti Samson," simpul Poltak. "Samson, semakin panjang rambutnya, semakin besar tenaganya.  Polmer, semakin panjang ingusnya, semakin besar juga tenaganya."

Kejadian sesungguhnya, deraan stress pada diri Polmer telah memicu produksi ingus dan sekaligus memacu tenaganya.  Karena itu, tampak dari luar, semakin panjang leleran ingusnya semakin besar tenaganya. 

"Polmer, Samson Hutabolon!"  Poltak berteriak. 

"Polmer Samson! Polmer Samson!"  Para pendukungnya serentak bersorak mengelu-elukan Polmer turun dari atas bukit.  Si Raksasa Ingusan itu kini punya julukan baru, "Samson Hutabolon."

"Ayolah.  Biasa itu kalah menang."  Poltak menghibur Bistok yang tampak kecewa.  Wajahnya lesu, langkahnya lunglai menuruni bukit.

"Hei! Anak-anak!  Dari mana kalian!"  Mendadak Guru Gayus, guru agama, sudah berdiri menunggu mereka di kaki bukit dengan mata melotot. Matilah kau Poltak.  (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun