"Wah, pantat Jonder bocor macam pantatku dulu." Poltak membathin sambil mengingat kejadian pantatnya bocor karena kecelakaan seluncuran di Bukit Partalinsiran.
Dalam waktu cepat, kain perban dan daun pucuk Simarhuting-huting sudah tersedia. Binsar dan Serli sungguh bisa diandalkan. Mereka sudah hafal lekak-lekuk lingkungan sekolah.
Menggunakan daun Simarhuting-huting itu, Guru Barita segera membersihkan luka gigitan babi di pantat Jonder. Sisa daun kemudian dibasahi dengan liur, lalu dilumatkan di telapak tangannya. Lumatan daun itu lalu ditemplokkan pada luka tersebut, lalu dibebat dengan perban. Â
"Beres. Pakai celanamu, Jonder. Burungmu kedinginan itu." Murid-murid perempuan sedari tadi sudah cekikikan antara melirik dan menutup mata pada burung Sang Jonder.
"Hilang, Gurunami," Jonder meraung lagi. Kali ini sambil membekap burungnya dengan kedua telapak tangannya.
"Amangoi, matilah kita. Poltak! Pergi, cari celana Si Jonder ke bukit sana!"
"Bah, kenapa pula harus aku." Poltak menggerutu dalam hati. Tapi siapa pula murid yang berani membantah perintah Guru Barita. Dia mengajak Polmer ikut serta.
Beruntung celana pendek Jonder tidak sulit ditemukan. Barang itu tergeletak di jalan setapak di lereng bukit. Rupanya, karena panik, Jonder melemparkannya sembarang. Â
Kejadian sebenarnya terungkap setelah Jonder tenang bercelana di dalam kelas. Rupanya, sewaktu dia buang hajat, dua ekor babi besar, kakus hidup yang rajin menguik, sudah bersiap di belakangnya. Â
Petaka terjadi saat Jonder cebok. Kedua ekor babi itu tidak sabar lagi. Mereka langsung menerjang berebut sarapan pagi yang teronggok di bawah bokong Jonder.Â
Akibatnya sungguh fatal. Jonder tidak saja terjungkal kena serudukan. Gigitan salah seekor babi itu juga menyambar pantatnya hingga luka berdarah.