Guru Barita menulis huruf cetak kecil a, b, c, d dan e di papan tulis. Murid-murid menyalinnya dengan susah-payah di buku tulis. Kecuali Binsar, Bistok, dan Serli; ketiganya murid pengulang. Itulah gunanya tinggal kelas.
"Amangoi, tolong. Gurunami! Tolong aku!" Â
Tangisan dan teriakan minta tolong dari atas bukit tiba-tiba memecah keheningan, membuyarkan konsentrasi belajar murid kelas satu dan tiga di dalam gereja. Â
Seorang anak kecil, tanpa celana, berlari seperti peluru ketapel menuruni bukit. Sambil meraung histeris. Dia adalah Jonder, murid yang tadi minta izin buang hajat.
Guru Barita spontan berlari ke luar ruangan. Diikuti semua murid-murid kelas satu. Sementara murid kelas tiga, di bagian belakang, dilarang bergerak oleh Guru Oskar, guru mereka.
"Kenapa kau, Jonder!" Guru Barita bertanya kepada Jonder yang sudah tiba dalam kepanikan di samping gereja. Â
"Digigit babi!" Jonder berteriak berurai air mata. Dia memegangi pantatnya. Â
"Digigit bagaimana!"
"Pantatku, Gurunami!"
Guru Barita memeriksa bokong Jonder. Mendadak wajahnya sedikit tegang melihat lumuran darah di belahan kanan pantat anak itu. Ada luka gigitan di sana. Tidak parah, tapi heboh, karena posisinya di bokong.
"Binsar! Lari ke kedai Ama Rosmeri. Minta kain perban!" Â Binsar langsung lari bagai rusa dikejar anjing.
"Serli! Cepat ambil daun pucuk Simarhuting-huting!" Serli berlari ke rerimbunan perdu kopasanda di belakang gereja.