Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pak Anies Sedang Membunuh Demokrasi di Jakarta?

24 November 2020   16:46 Diperbarui: 25 November 2020   18:54 1676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: tempo.co)

Pada hari Minggu yang lalu (22/11/2020), Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengunggah sebuah lelucon politik di Instagram dan Twitternya. Dia membagikan foto dirinya sedang mengenakan kemeja dan sarung, duduk di kursi kayu, sambil melihat buku How Democracies Die (S. Levitsky & D Ziblatt, 2018) yang terbuka di tangannya.

Mengapa itu saya katakan sebuah lelucon?  Karena dia sebenarnya sedang menunjukkan judul sebuah buku, bukan membaca isinya. Buku seberat itu, baik bobot fisik dan isinya, mestinya dibaca dengan cara meletakkannya di atas meja.  Saya yakin, dia telah melakukan itu beberapa waktu lalu.

Warganet kemudian riuh, menafsir unggahan foto itu sebagai cara manis  Anies menyindir Presiden Jokowi yang dipersepsikan kini berperilaku otoriter. Perilaku otoriter presiden terpilih, demikian Levitsky dan Ziblatt, dapat dan sudah terbukti menjadi pembunuh demokrasi.  Caranya, antara lain, melalui pemberangusan kelompok oposisi, kelompok kritis, pers, dan peradilan.  Warganet kemudian menduga, Anies sedang mengenakan teori "pembunuhan demokrasi" itu kepada Presiden Jokowi.

Menafsir unggahan Anies itu sebagai sindiran kepada Jokowi, walaupun itu sah-sah saja, menurut saya berangkat dari asumsi sesat tentang perilaku politik Anies Baswedan. Diasumsikan bahwa Anies secara politis merupakan anti-tesis Jokowi.  Dengan asumsi itu maka segala sikap dan tindakan politik Anies lantas ditafsirkan sebagai perilaku politik yang menentang atau mengritik Presiden Jokowi.  

Saya pikir Anies tidaklah seekstrim itu. Bagaimanapun juga dia tetap memiliki kesadaran sebagai bagian dari pemerintahan NKRI. Sehingga mustahil baginya untuk membangkang atau menjatuhkan Presiden Jokowi.  Sudah pasti Anies tidak ingin dipersepsikan sebagai "musuh dalam selimut" dalam pemerintahan Jokowi.   Sebab dia pasti tahu, "musuh dalam selimut" itu adalah "kepinding".

Karena itu, saya lebih memilih berfikir positif tentang unggahan Anies itu.   Menurut saya, unggahan itu adalah otokritik, kritik kepada dirinya sendiri selaku Gubernur Jakarta yang sedang berpolitik. Saya akan jelaskan di bawah ini, dengan memberikan analisis status demokrasi di tingkat nasional dan di tingkat lokal dengan mengambil kasus DKI Jakarta.

***

Perhatikan judul buku itu, How Democracies Die, Bagaimana Demokrasi Mati. Berbicara kondisi demokrasi tingkat nasional di Indonesia kini, adakah terbaca gejala kematian demokrasi?  Saya akan mencoba menjawabnya dengan merujuk pada empat indikator otoritarianisme menurut Levistky dan Ziblatt.

Pertama, penolakan atau komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi.  Ini mencakup penolakan terbuka terhadap konstitusi, tindakan anti-demokrasi, penggunaan cara-cara ekstra-konstitusional, dan delegitimasi hasil Pemilu.

Saya tidak melihat indikasi penolakan atau komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi dalam Pemerintahan Jokowi kini.  Mungkin indikator ini, khususnya anti-demokrasi,  dikaitkan dengan pelarangan HTI dan penangguhan ijin organisasi untuk FPI oleh pemerintah.  

Tapi tindakan pemerintah itu dilakukan sesuai amanah konstitusi, yaitu untuk mencegah upaya-upaya untuk mengganti dasar idiologis dan sistem pemerintahan NKRI dengan cara-cara inkonstitusional. Apakah pelarangan atau pembatasan terhadap gerakan berorientasi inkonstitusional termasuk tindakan otoriter jika dinilai dari kerangka demokrasi?  Jelas, tidak!

Kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi politik. Ini mencakup labelisasi subversif terhadap  oposisi, pemosisian lawan politik sebagai ancaman nasional, kriminalisasi lawan politik, dan stigmasisasi lawan politik sebagai antek asing. 

Faktual kini partai-partai PKS, PAN dan PD memposisikan diri sebagai oposisi sekaligus lawan politik rejim berkuasa. Tapi, toh tidak satu pun dari partai itu dicap sebagai kelompok subversif, ancaman nasional, organisasi kriminal, atau pun antek asing.

Hal serupa bisa dikatakan tentang KAMI, yang memposisikan diri sebagai kekuatan kritik terhadap pemerintah.   Tidak ada pelarangan terhadap eksistensi dan aktivitas KAMI. Sejauh itu tidak melanggar protokol kesehatan dalam konteks penanggulangan Covid-19.

Memang ada sejumlah tokoh partai (PKS) dan aktivis politik (KAMI) yang berurusan dengan penegak hukum. Tapi jelas hal itu bukan kriminalisasi politisi oposan atau kritis. Kasus-kasus itu  murni menyangkut  pelanggaran atau indikasi pelanggaran hukum.  Artinya, pemerintahan Jokowi masih bergerak di jalur konstitusi.

Ketiga, pembiaran atau fasilitasi aksi kekerasan.  Hal ini mencakup adanya relasi dengan kelompok milisi liar, penggerakan massa untuk menyerang lawan politik, pembiaran terhadap kekerasan oleh kelompok pendukung, dan pendiaman atas aksi kekerasan politik di masa lalu atau di tempat lain.

Indikator ini paling mungkin dikaitkan dengan anggapan "tebang pilih" dalam penegakan hukum. Kritik yang mengemuka:  jika dugaan pelanggaran hukum, misalnya penistaan, dilakukan pendukung rejim maka tidak diproses secara hukum, tapi jika pelakunya dari pihak lawan politik maka dengan cepat ditindak-lanjuti aparat hukum. 

Barangkali kasus Ade Armando dan Rizieq Shihab paling tepat untuk menjelaskan soal ini.  Pihak oposisi rejim cenderung berpendapat aparat hukum tidak berlaku adil dalam dua kasus itu.   Kasus penistaaan agama dan ulama oleh Ade katanya tidak diproses, sedangkan kasus penistaan agama dan etnis oleh Rizieq  ditindak-lanjuti.  Dari media bisa diperoleh informasi bahwa Ade telah berulangkali diperiksa polisi terkait kasusnya, sedangkan pemeriksaan terhadap Rizieq terhenti karena dia memilih pergi untuk tinggal beberapa tahun di Arab Saudi.

Keempat, pembatasan terhadap kebebasan sipil lawan politik termasuk media. Hal ini meliputi dukungan terhadap kebijakan dan peraturan perundangan yang membatasi kebebasan bersuara kritis kepada pemerintah, intimidasi hukum terhadap politisi, media dan warga yang bersuara kritis, dan toleransi pada tindakan represif di masa lalu atau di tempat lain.

Untuk kasus Indonesia, indikator ini tampaknya bisa merujuk pada pengesahaan UU Nomor 17 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (MD3), yang dinilai membatasi kritik terhadap anggota DPR.  Juga KUHP yang menjaga Presiden dan Wapres dari penghinaan.

Tapi jika disimak baik-baik, sebenarnya tidak ada larangan mengritik DPR dan Presiden terkait kinerjanya, sebagaimana diatur konstitusi.  Hal yang dilarang adalah menghina atau menista DPR dan Presiden, termasuk di sini kritik yang tanpa dasar.

Sejauh ini pemerintahan Jokowi tidak pernah menekan para politisi dan aktivis sosial yang menyampaikan kritik, sepanjang kritik itu memiliki dasar yang kuat.  Suara-suara kritis masih bertebaran dari, misalnya, ILC TV One, Mata Najwa, PA 212, dan KAMI.  Tidak ada seorangpun yang ditangkap karena menyampaikan kritik yang berdasar.

Mungkin ada yang memasukkan kasus "Kerumunan Petamburan"  ke dalam indikator ini.  Sikap proaktif tentara menurunkan baliho Rizieq Shihab barangkali dilihat sebagai bentuk represi pada suara kritis.  Tapi orang lupa menilai, apakah ujaran "lonte" (delapan kali dalam hitungan menit) dan "penggal kepala" masih terhitung kritik, atau bentuk ancaman internal terhadap ketahanan nasional?

Pada akhirnya, bisa dikatakan, keempat indikator politik totaliter itu tidak mengena jika diterapkan para pemerintahan Presiden Jokowi kini.  Ironisnya, jika indikator itu diterapkan kepada pihak-pihak yang mengklaim diri sebagai oposan atau lawan politik, maka akan terbaca adanya gejala totalirianisme pada pihak-pihak tersebut.

***

Bagaimana jika berbicara kondisi demokrasi lokal di tingkat DKI Jakarta?  Saya akan coba menggunakan empat indikator politik totaliter Levinsky dan Ziblatt, dengan mengambil kasus pemerintahan Gubernur Anies Baswedan.   Analisis mencakup masa kampanye Pilgub Jakarta tahun 2017 sampai sekarang (2020).

Pertama, penolakan atau komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi.  Pada masa kampanye Pilgub Jakarta tahun 2017, jelas terungkap sejumlah inkonsistensi dengan konstitusi.  Antara lain sikap penolakan terbuka terhadap calon gubernur yang tidak seiman dan tidak satu ras.  Juga tindak intimidasi berdasar ayat-ayat Kitab Suci terhadap umat yang memilih calon gubernur yang tidak seiman.  Jelas di situ ada gejala penolakan terhadap aturan main demokrasi, yang mestinya rasional dan menghindari pendekatan SARA.  

Kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi politik. Masih pada masa kampanye Pilgub Jakarta tahun 2017, jelas terjadi "kriminalisasi" terhadap seorang calon gubernur  sebagai penista agama, dan untuk itu dia diadili dan divonis penjara dua tahun.  Juga ada stigmasisasi pada calon gubernur tersebut sebagai antek asing dan "aseng".  Bahkan, untuk menguatkan, setelah dilantik sebagai gubernur Anies langsung berpidato tentang supremasi "pribumi".

Ketiga, pembiaran atau fasilitasi aksi kekerasan. Anies, pada posisinya sebagai gubernur, jelas tidak membiarkan atau  memfasilitasi aksi-aksi yang menjurus pada kekerasan fisik.  Tapi jelas bahwa sejak masa kampanye Pilgub 2017 dan setelah Anies menjabat gubernur, terdapat sejumlah aksi massa yang melancarkan kekerasan "verbal" kepada pemerintah khususnya Presiden Jokowi.  Aksi-aksi itu difasilitasi Anies dengan memberi ijin unjuk rasa di Monas dan sekitarnya.

Dalam hiruk-pikuk unjuk rasa anti-UU Ciptaker, Anies bahkan menyatakan dorongannya kepada anak-anak sekolah untuk ikut demonstrasi. Menurut Anies itu adalah pelajaran demokrasi yang baik. Bahkan Anies hadir di tengah demonstran untuk memberi arahan: hari ini cukup dulu, simpan tenaga, besok  demonstrasi lagi.

Terbaru adalah indikasi "pembiaran" terhadap kasus "Kerumunan Petamburan" yang menempatkan Rizieq Shihab sebagai "tokoh sentral".   Faktanya Anies sowan kepada Rizieq pada hari-hari pertama kedatangannya di Indonesia, dengan mengabaikan protokol karantina Covid-19, dan juga bersedia sebagai saksi nikah anak perempuan Rizieq Shihab. 

Ini artinya Anies tahu ada pelanggaran protokol Covid-19, dan tahu akan ada pelanggaran lebih besar lagi berupa "Kerumunan Petamburan".  Fakta bahwa pemerintah DKI katanya mengirimkan surat larangan kerumunan, dan pengenaan denda Rp 50 juta setelah peristiwa kerumunan terjadi, tidak mengubah kesimpulan bahwa secara tidak langsung Anies selaku gubernur telah membiarkan kerumunan itu terjadi. 

Persoalan muncul kemudian karena dari "Kerumunan Petamburan" muncul kekerasan verbal terhadap warga dan pemerintah.  Dari situ dilontarkan ujaran "lonte" (untuk seorang perempuan "kritis"), ujaran penistaan atau merendahkan terhadap kepolisian dan TNI, dan ancaman untuk "penggal kepala" kepada penista agama dan ulama yang tidak ditindak pemerintah.

Satu hal, sangat jelas juga bahwa di belakang Anies sejak masa kampanye sampai sekarang, berdiri sejumlah ormas, sebagaian dengan kekuatan paramiliter, untuk tampil di garis depan sebagai pembela Anies dari serangan kritik keras lawan politiknya.

Keempat, pembatasan terhadap kebebasan sipil lawan politik termasuk media. Terdapat beberapa kebijakan atau langkah Anies yang berimplikasi pembatasan kebebasan sipil, khususnya untuk mengkritisi pemerintah DKI Jakarta.  Di awal pemerintahannya, Anies menghentikan tradisi "rakyat melapor langsung kepada gubernur", dan menghentikan penayangan langsung rapat-rapat Pemda DKI secara daring.  Kebijakan ini jelas membatasi akses warga sipil terhadap informasi pelaksanaan pemerintahan, khususnya pengadministrasian keadilan sosial. 

Belakangan, akses warga terhadap E-Budgetting juga ditutup, menyusul kasus "Lem Aibon Rp 82 milyar" yang menyusup ke dalam KUA-PPAS DKI 2020.  Belakangan dokumen anggaran juga tidak diterima oleh anggota DPRD Jakarta selang beberapa waktu sebelumnya, sehingga tidak memungkinkan untuk menyisirnya. Ini merupakan pembatasan kebebasan sipil untuk mengetahui bagaimana pajak mereka digunakan oleh pemerintah.

Apa yang bisa disimpulkan di sini. Sejak masa kampanye Pilgub Jakarta 2017 sampai sekarang (2020), terdapat gejala bahwa Anies Baswedan telah (ikut terlibat) dalam proses "pembunuhan" demokrasi di tataran lokal, yaitu Provinsi DKI Jakarta.  

Barangkali demokrasi di Jakarta saat ini belum benar-benar mati.  Tetapi indikasi Anis sebagai "pemimpin terpilih" Jakarta telah menjalankan, sadar atau tidak, politik totaliter sudah jelas terbaca dari pengukuran kualitatif berdasar indikator Levinsky dan Ziblatt.

***

Saya telah menggunakan indikator yang sama, yaitu indikator politik totaliter dari Levitsky dan Ziblatt, untuk membanding perilaku politik  Jokowi dan Anies Baswedan.  Hasilnya, terdapat indikasi justru Anies, bukan Jokowi, yang terbaca sedang menjalankan politik totaliter di Jakarta.  

Dengan demikian, bisa disimpulkan, demokrasi sedang "terancam mati" di Jakarta, sementara di tingkat nasional, Jokowi berupaya memelihara dan mengembangkannya.

Kesimpulan di atas mengantar saya pada pendapat bahwa unggahan foto Anies sedang memperlihatkan judul buku "How Democracies Die", sejatinya adalah sebuah kritik diri.  Anies sedang mengritik perilaku politiknya sendiri, karena dia tahu persis, kebijakan dan langkah-langkah politiknya cenderung totaliter, sehingga justru berpotensi mematikan demokrasi di Jakarta.

Judul dan kesimpulan artikel ini, yaitu "Gubernur Anies Baswedan sedang membunuh demokrasi di Jakarta", bagaimanapun harus dibaca sebagai sebuah hipotesis.  Diperlukan pengujian yang lebih ketat terhadap hipotesis itu. Sehingga dapat dipastikan apakah Anies sedang menerapkan politik totaliter yang membunuh demokrasi di Jakarta.

Harapan saya, hipotesis di atas ditolak, tak hanya untuk kasus Anies Baswedan, tapi juga Jokowi. Dengan demikian nanti bisa disimpulkan, teori politik totaliter dan kematian demokrasi dari Levitsky dan Ziblatt tak berlaku untuk konteks Indonesia, baik di tingkat lokal maupun nasional .(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun