Satu hal, sangat jelas juga bahwa di belakang Anies sejak masa kampanye sampai sekarang, berdiri sejumlah ormas, sebagaian dengan kekuatan paramiliter, untuk tampil di garis depan sebagai pembela Anies dari serangan kritik keras lawan politiknya.
Keempat, pembatasan terhadap kebebasan sipil lawan politik termasuk media. Terdapat beberapa kebijakan atau langkah Anies yang berimplikasi pembatasan kebebasan sipil, khususnya untuk mengkritisi pemerintah DKI Jakarta. Â Di awal pemerintahannya, Anies menghentikan tradisi "rakyat melapor langsung kepada gubernur", dan menghentikan penayangan langsung rapat-rapat Pemda DKI secara daring. Â Kebijakan ini jelas membatasi akses warga sipil terhadap informasi pelaksanaan pemerintahan, khususnya pengadministrasian keadilan sosial.Â
Belakangan, akses warga terhadap E-Budgetting juga ditutup, menyusul kasus "Lem Aibon Rp 82 milyar" yang menyusup ke dalam KUA-PPAS DKI 2020. Â Belakangan dokumen anggaran juga tidak diterima oleh anggota DPRD Jakarta selang beberapa waktu sebelumnya, sehingga tidak memungkinkan untuk menyisirnya. Ini merupakan pembatasan kebebasan sipil untuk mengetahui bagaimana pajak mereka digunakan oleh pemerintah.
Apa yang bisa disimpulkan di sini. Sejak masa kampanye Pilgub Jakarta 2017 sampai sekarang (2020), terdapat gejala bahwa Anies Baswedan telah (ikut terlibat) dalam proses "pembunuhan" demokrasi di tataran lokal, yaitu Provinsi DKI Jakarta. Â
Barangkali demokrasi di Jakarta saat ini belum benar-benar mati. Â Tetapi indikasi Anis sebagai "pemimpin terpilih" Jakarta telah menjalankan, sadar atau tidak, politik totaliter sudah jelas terbaca dari pengukuran kualitatif berdasar indikator Levinsky dan Ziblatt.
***
Saya telah menggunakan indikator yang sama, yaitu indikator politik totaliter dari Levitsky dan Ziblatt, untuk membanding perilaku politik  Jokowi dan Anies Baswedan.  Hasilnya, terdapat indikasi justru Anies, bukan Jokowi, yang terbaca sedang menjalankan politik totaliter di Jakarta. Â
Dengan demikian, bisa disimpulkan, demokrasi sedang "terancam mati" di Jakarta, sementara di tingkat nasional, Jokowi berupaya memelihara dan mengembangkannya.
Kesimpulan di atas mengantar saya pada pendapat bahwa unggahan foto Anies sedang memperlihatkan judul buku "How Democracies Die", sejatinya adalah sebuah kritik diri. Â Anies sedang mengritik perilaku politiknya sendiri, karena dia tahu persis, kebijakan dan langkah-langkah politiknya cenderung totaliter, sehingga justru berpotensi mematikan demokrasi di Jakarta.
Judul dan kesimpulan artikel ini, yaitu "Gubernur Anies Baswedan sedang membunuh demokrasi di Jakarta", bagaimanapun harus dibaca sebagai sebuah hipotesis. Â Diperlukan pengujian yang lebih ketat terhadap hipotesis itu. Sehingga dapat dipastikan apakah Anies sedang menerapkan politik totaliter yang membunuh demokrasi di Jakarta.
Harapan saya, hipotesis di atas ditolak, tak hanya untuk kasus Anies Baswedan, tapi juga Jokowi. Dengan demikian nanti bisa disimpulkan, teori politik totaliter dan kematian demokrasi dari Levitsky dan Ziblatt tak berlaku untuk konteks Indonesia, baik di tingkat lokal maupun nasional .(*)