Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pak Anies Sedang Membunuh Demokrasi di Jakarta?

24 November 2020   16:46 Diperbarui: 25 November 2020   18:54 1676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: tempo.co)

Mungkin ada yang memasukkan kasus "Kerumunan Petamburan"  ke dalam indikator ini.  Sikap proaktif tentara menurunkan baliho Rizieq Shihab barangkali dilihat sebagai bentuk represi pada suara kritis.  Tapi orang lupa menilai, apakah ujaran "lonte" (delapan kali dalam hitungan menit) dan "penggal kepala" masih terhitung kritik, atau bentuk ancaman internal terhadap ketahanan nasional?

Pada akhirnya, bisa dikatakan, keempat indikator politik totaliter itu tidak mengena jika diterapkan para pemerintahan Presiden Jokowi kini.  Ironisnya, jika indikator itu diterapkan kepada pihak-pihak yang mengklaim diri sebagai oposan atau lawan politik, maka akan terbaca adanya gejala totalirianisme pada pihak-pihak tersebut.

***

Bagaimana jika berbicara kondisi demokrasi lokal di tingkat DKI Jakarta?  Saya akan coba menggunakan empat indikator politik totaliter Levinsky dan Ziblatt, dengan mengambil kasus pemerintahan Gubernur Anies Baswedan.   Analisis mencakup masa kampanye Pilgub Jakarta tahun 2017 sampai sekarang (2020).

Pertama, penolakan atau komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi.  Pada masa kampanye Pilgub Jakarta tahun 2017, jelas terungkap sejumlah inkonsistensi dengan konstitusi.  Antara lain sikap penolakan terbuka terhadap calon gubernur yang tidak seiman dan tidak satu ras.  Juga tindak intimidasi berdasar ayat-ayat Kitab Suci terhadap umat yang memilih calon gubernur yang tidak seiman.  Jelas di situ ada gejala penolakan terhadap aturan main demokrasi, yang mestinya rasional dan menghindari pendekatan SARA.  

Kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi politik. Masih pada masa kampanye Pilgub Jakarta tahun 2017, jelas terjadi "kriminalisasi" terhadap seorang calon gubernur  sebagai penista agama, dan untuk itu dia diadili dan divonis penjara dua tahun.  Juga ada stigmasisasi pada calon gubernur tersebut sebagai antek asing dan "aseng".  Bahkan, untuk menguatkan, setelah dilantik sebagai gubernur Anies langsung berpidato tentang supremasi "pribumi".

Ketiga, pembiaran atau fasilitasi aksi kekerasan. Anies, pada posisinya sebagai gubernur, jelas tidak membiarkan atau  memfasilitasi aksi-aksi yang menjurus pada kekerasan fisik.  Tapi jelas bahwa sejak masa kampanye Pilgub 2017 dan setelah Anies menjabat gubernur, terdapat sejumlah aksi massa yang melancarkan kekerasan "verbal" kepada pemerintah khususnya Presiden Jokowi.  Aksi-aksi itu difasilitasi Anies dengan memberi ijin unjuk rasa di Monas dan sekitarnya.

Dalam hiruk-pikuk unjuk rasa anti-UU Ciptaker, Anies bahkan menyatakan dorongannya kepada anak-anak sekolah untuk ikut demonstrasi. Menurut Anies itu adalah pelajaran demokrasi yang baik. Bahkan Anies hadir di tengah demonstran untuk memberi arahan: hari ini cukup dulu, simpan tenaga, besok  demonstrasi lagi.

Terbaru adalah indikasi "pembiaran" terhadap kasus "Kerumunan Petamburan" yang menempatkan Rizieq Shihab sebagai "tokoh sentral".   Faktanya Anies sowan kepada Rizieq pada hari-hari pertama kedatangannya di Indonesia, dengan mengabaikan protokol karantina Covid-19, dan juga bersedia sebagai saksi nikah anak perempuan Rizieq Shihab. 

Ini artinya Anies tahu ada pelanggaran protokol Covid-19, dan tahu akan ada pelanggaran lebih besar lagi berupa "Kerumunan Petamburan".  Fakta bahwa pemerintah DKI katanya mengirimkan surat larangan kerumunan, dan pengenaan denda Rp 50 juta setelah peristiwa kerumunan terjadi, tidak mengubah kesimpulan bahwa secara tidak langsung Anies selaku gubernur telah membiarkan kerumunan itu terjadi. 

Persoalan muncul kemudian karena dari "Kerumunan Petamburan" muncul kekerasan verbal terhadap warga dan pemerintah.  Dari situ dilontarkan ujaran "lonte" (untuk seorang perempuan "kritis"), ujaran penistaan atau merendahkan terhadap kepolisian dan TNI, dan ancaman untuk "penggal kepala" kepada penista agama dan ulama yang tidak ditindak pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun