Kabar Parandum akan melanjutkan kuliah di IKIP Siantar sudah tersiar di lingkungan keluarga besar. Semua kakek-nenek Poltak sudah tahu. Â Kabar sarat gengsi cepat menyebar.
Rencana kuliah Parandum itu menjadi pembicaraan hangat di rumah buyut Poltak. Â Semua kakek dan nenek Poltak memuji semangat Parandum. Mendorongnya meraih cita-cita menjadi sarjana muda. Â Demi menjunjung hasangapon, kemuliaaan keluarga.
"Tapi berat kalilah biaya kuliahnya." Kakek Poltak menanggapi dorongan adik-adiknya. Â
"Bah. Â Kerbau-kerbau milik abang itu untuk apa. Â Jual saja satu ekor. Â Beres." Ama Rotua, kakek Poltak nomor empat mengusulkan jalan keluar.
Poltak tidak suka mendengar usulan Ama Rotua itu. Dia tidak rela kehilangan seekor pun dari kerbau-kerbau gembalaannya. Apa pun alasannya.
Tapi itulah yang terjadi. Kakek Poltak memutuskan untuk menjual Si Harbangan, kerbau jantan kesayangan Poltak. Â
"Poltak, besok Si Harbangan akan dijemput Amani Marolop." Â Kakek Poltak memberi tahu seminggu kemudian. Â Amani Marolop adalah tokke horbo, tauke kerbau dari kampung Hutabolon.
Begitulah. Â Pendapat anak kecil, apalagi cuma seorang cucu, tidak perlu dipertimbangkan dalam keputusan ekonomi keluarga. Â Kekuasaan penuh ada pada kepala keluarga. Â
"Ompung tak perduli perasaanku," keluh Poltak dalam hati.  Hubungan anak gembala dengan kerbaunya adalah jalinan cinta yang unik. Anak gembala  mencintai kerbaunya sebagaimana kerbau mencintai gembalanya.
Cinta kerbau kepada gembalanya ditandai kepatuhan tanpa syarat. Sebesar dan sekuat apapun kerbau, dia tetap patuh pada gembalanya. Sekecil dan seringkih apapun anak gembala itu. Â
Poltak, anak gembala baik itu, Â berharap hari esok tak pernah tiba. Â Agar Amani Marolop tak pernah tiba pula di Panatapan untuk mengambil Si Harbangan dari dirinya. Â
Tapi siapakah yang kuasa menghentikan gerak matahari? Â Poltak bukan Nabi Yoshua, pemimpin bani Israel itu. Â Yoshua kuasa berdoa kepada Tuhan, memohon agar matahari berhenti di atas bukit Gibeon dan bulan di atas lembah Ayalon, sampai bangsa Israel tuntas menaklukkan musuhnya.
Karena itu, walau mata Poltak nyaris tak terpejam sepanjang malam, ayam jantan tetap berkokok di subuh hari, dan  matahari tetap terbit di timur saat pagi tiba. Â
Poltak, seperti kemarin-kemarin, tetap harus menjalankan kewajiban paginya. Mengantar dan menambatkan kerbau-kerbaunya ke lembah Holbung. Â Kecuali Si Harbangan, tetap tinggal di dalam kandang, menunggu Amani Marolop.
Sekembali dari Holbung, Poltak menemukan Si Harbangan sudah ditambatkan di depan rumah. Amani Marolop dan kakeknya, juga Ama Riama, duduk berbincang di teras rumah, sambil menikmati kopi hangat. Â
"Ei, Poltak. Â Sini kau, amang," kakeknya memanggil.Â
"Olo,"Poltak mengiyakan, tapi bergeming. Â Dia tak hendak berdekatan dengan Amani Marolop. Â Di matanya, wajah tokke horbo itu tampak seperti muka harimau yang bernafsu memangsa kerbaunya.
Perlahan, Poltak melangkah mendekati Si Harbangan. Â Dia mencekal gelang hidungnya, lalu mengangkat kepala kerbau itu sampai sejajar kepalanya. Â
Mata Si Harbangan terlihat berkaca-kaca. Â Kerbau punya insting lembut. Dia tahu sebentar lagi dirinya akan berpisah dari Poltak, gembala yang dicintai dan mencintainya. Â
Poltak tak kuasa menahan luapan kesedihannya. Matanya berkaca-kaca oleh rembes airmata. Sebelum tangisnya pecah, dia melepas Si Harbangan lalu berlari sekencang-kencangnya mendaki lerebg bukit Partalinsiran.
"Oi, Poltak! Mau kemana kau?" Parandum berteriak bertanya. Â
"Haru isintak porhas i ho!" Poltak mengutuki amangudanya itu, agar disambar petir saja. Dia pikir, kalau bukan karena ambisi Parandum untuk kuliah, Si Harbangan tidak akan dijual.Â
"Kenapa dia tidak mati saja dulu waktu meloncat ke dalam tong air," rutuk Poltak dalam hati. Mendadak, di hatinya timbul rasa marah dan benci kepada Parandum.
Di puncak bukit Partalinsiran, suaka anak-anak Panatapan, Poltak menumpahkan airmatanya. Airmata kesedihan, kebencian, dan kemarahan karena harus berpisah dari Si Harbangan. Â
Selama ini kerbau jantan itu telah saling-dukung dengan Poltak. Â Di setia membantu Poltak menjaga kerbau-kerbau betina dari incaran para pejantan hidung belang. Dia mambawa Poltak memenangi balap ketbau melawan Bibsa dan Bistok di padang Holbung.
Dari atas bukit, dengan hati patah, Poltak menyaksikan Si Harbangan dituntun pergi oleh Amani Marolop. Kerbau itu menolak ikut, sehingga harus ditarik paksa. Â Seorang teman toke kerbau itu melecut bokong Si Harbangan dengan batahi, agar mau berjalan. Â
"Harbangan!" Poltak berteriak sekeras-kerasnya, marah, tak terima perlakuan kasar pada Si Harbangan. Â
Di bawah tatapan sedih Poltak, Si Harbangan dituntun toke kerbau itu meninggalkan Panatapan ke arah barat. Saat Si Harbangan belok ke jalan besar, lalu hilang dari pandangan, sontak Poltak merasa ada yang hilang dari dirinya. Sesuatu yang sangat berarti.
Terpicu oleh suatu daya yang tak dimengertinya, mendadak Poltak berbalik, berteriak sekuat-kuatnya, lalu berlari ke arah timur. Limapuluh meter di depannya ada sebuah tebing. Di dasar tebing itu air pancuran terlihat kecil. (Bersambung)
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H